Friday, March 27, 2009

JALAN PANJANG PENGEMBANGAN COALBED METHANE (CBM) DI KALSEL

Pada 27 Februari lalu, telah diselenggarakan Seminar dan Dialog bertajuk “Development of Coalbed Methane (CBM) as Clean Energy Source in Kalimantan and Its Importance for Economic Development” yang menghadirkan pembicara pakar gas metana batubara (Coalbed Methane/CBM) dari the University of Queensland, Australia, Dr Paul Massarotto, dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Perusahaan CBM yang memiliki konsesi Production Sharing Contract CBM di wilayah Batola dan sekitarnya, serta dari Pemkab Batola. Tulisan ini akan mengulas mengenai CBM, pengembangan CBM di Kalsel termasuk seputar kehadiran Dr Paul Massarotto dan kaitan antara Pemprov Kalsel dan the University of Queensland, Australia.

Semburan Barambai
Di bulan September 2006, terjadi “bencana lokal” di Barambai, Desa Kolam Kanan, Kabupaten Batola yaitu semburan gas yang keluar bersama-sama air dari sebuah sumur bor air tanah. Semburan ini memang pada saat itu dikategorikan sebagai bencana karena menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi semburan: kekhawatiran akan semakin membesarnya lubang sumur atau bertambahnya volume air dan lumpur. Keresahan dan kekhawatiran masyarakat ini muncul merujuk semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur pada tahun yang sama yang semakin lama semakin berbahaya.

Seiring waktu, berbagai penelitian telah dilakukan dan akhirnya diketahui jenis gas yang menyembur yaitu gas metana dengan konsentrasi sangat tinggi (98% metana) yang ternyata memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Dugaan awal adalah, gas ini berasal dari rawa-rawa gambut yang ada di sekitar sumur karena gas metana setiap saat dihasilkan oleh aktivitas bakteri yang hidup di rawa-rawa. Namun, dilihat dari besarnya volume, kekuatan semburan, dan kedalaman sumur maka kesimpulan tersebut terbantahkan. Dari penelitian Badan Geologi di tahun 2009 diketahui mekanisme terjadinya semburan gas metana. Mekanismenya adalah mata bor saat pemboran air tanah menembus lapisan batuan penutup (cap rock) dan kemudian lapisan batupasir yang berfungsi sebagai reservoir gas metana yang akhirnya membebaskan gas metana ini ke luar permukaan. Yang menjadi pertanyaan adalah dimana gas metana yang terakumulasi di lapisan batupasir ini berasal? Jawaban logisnya adalah dari lapisan batubara yang berada dibawahnya. Pertanyaan lanutannya adalah apakah mungkin ada lapisan batubara di Barambai?

Lapisan batubara merupakan lapisan yang continous yang diendapkan dalam suatu cekungan (basin) yang sangat luas. Secara regional, lapisan batubara baik batubara Formasi Warukin (Tmw) maupun Tanjung (Tet) yang berada di punggung bagian bawah pegunungan Meratus di bagian timur menunjam ke bawah dengan kemiringan antara 20-25 derajat ke arah barat. Lapisan-lapisan batubara ini akan relatif terletak semakin dalam seiring dengan semakin jauh letaknya dari pegunungan meratus meskipun ada kemungkinan terjadinya pengangkatan akibat tektonik yang menyebabkan letak batubara naik/lebih dangkal. Untuk daerah Barambai yang berjarak sekitar 80 km tegak lurus dari Pegunungan Meratus, lapisan batubara kemungkinan berada pada kedalaman antara 400-700 meter. Nah, lapisan batubara inilah yang menjadi sumber dari gas metana yang menyembur di Barambai. Karena gas metana ini berasal dari lapisan batubara yang tidak terganggu (atau ditambang) maka gas metana ini biasa disebut Coalbed Methane (CBM).

CBM dan CMM
Gas metana dalam batubara dihasilkan selama proses pembatubaraan (coalification) dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk, kemudian menjadi gambut, lignite, dan batubara. Karena gas ini terbentuk selama proses terbentuknya batubara, maka dimanapun batubara berada, baik di permukaan, dekat permukaan, ataupun di bawah permukaan tanah, maka akan ditemukan gas metana ini. Batubara dapat berperan sebagai reservoir gas metana utamanya dengan mengadsorpsi/menyerap metana pada permukaan internal batubara. Ini merupakan suatu hal yang berbeda dengan reservoir batupasir untuk migas, dimana migas tersimpan di pori-pori batupasir. Dengan cara adsropsi ini batubara mampu menampung gas metana dalam jumlah yang sangat besar. Satu kilogram batubara memiliki permukaan internal antara 20,000 m 2 dan 200,000 m2 yang dapat mengadsorpsi metana.

Dibandingkan dengan reservoir konvensional minyak dan gas (misalnya batupasir), maka kemampuan batubara jauh lebih besar dalam menyimpan CBM. Secara umum, kandungan gas metana dalam batubara berbanding lurus dengan kualitas, ketebalan, dan kedalaman lapisan batubara. Batubara kalori tinggi (bituminus – antrasit) memiliki kemampuan menyimpan metana lebih tinggi dibanding batubara kalori rendah (lignite/brown coal). Semakin tebal batubara, maka semakin banyak kandungan gas metana-nya dan semakin dalam letak batubara maka semakin besar pula potensi gas metana-nya seiring dengan meningkatnya kemampuan adsorpsi batubara atas metana karena meningkatnya tekanan dalam batubara.

Ada dua istilah umum yang dikenal berkaitan dengan gas metana dalam batubara yaitu: CBM (Coalbed Methane) dan CMM (Coalmine Methane). CBM merujuk pada pengertian gas metana yang terdapat pada lapisan batubara yang belum terganggu/belum tertambang, sementara CMM merujuk pada gas metana yang keluar dari lapisan batubara yang terganggu akibat aktifitas penambangan batubara underground. Untuk mengeksploitasi CBM diperlukan upaya pemboran yang mencapai lapisan batubara target dan mengalirkan gas metana keluar ke penampungan gas melalui mekanisme pelepasan CBM dari internal surface batubara (desorption). Sedangkan untuk CMM gas metana terbebas saat ekstraksi batubara underground dilakukan dan kemudian dapat dialirkan ke penampungan gas yang dikenal dengan istilah CBM degasification.

Pemanfaatan CBM
Di Kalsel, operasi penambangan batubara underground masih dalam fase awal (misalnya proyek penambangan batubara underground Arutmin di Satui), sehingga fokus tulisan ini adalah CBM dan bukan CMM. Gas metana batubara, baik CBM maupun CMM, dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pembangkit listrik, sebagai bahan bakar untuk memasak, dan bahan bakar bagi kendaraan bermotor ramah lingkungan. Untuk kendaraan bermotor CBM/CMM ini dapat diproses lebih lanjut menjadi CNG (Compressed Natural Gas) atau ANG (Adsorbed Natural Gas) dan kemudian didistribusikan pada stasiun-stasiun pengisian bahan bakar gas dan kemudian ke konsumen. Baik untuk pembangkit listrik maupun keperluan lain, CBM jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan batubara ataupun minyak bumi.

Sesungguhnya gas metana darimanapun asalnya (termasuk CBM) termasuk gas rumah kaca, bahkan 23 kali lebih buruk dibanding karbondioksida dalam hal menyebabkan pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim global (climate change) jika terlepas ke udara. Namun, jika dimanfaatkan maka CBM ini akan menghasilkan sedikit emisi karbondioksida, tidak mengandung timbal dan SOx, dan lebih rendah kandungan NOx-nya. Dengan demikian, membiarkan CBM langsung terlepas ke udara tanpa dimanfaatkan terlebih dahulu akan mempercepat akumulasi gas rumah kaca di atmosfer dan pada gilirannya mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim global.

Menyadari hal ini, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) , badan PBB yang bertanggung jawab atas usaha mencegah climate change, memberikan insentif bagi usaha-usaha pengurangan emisi gas metana dari batubara termasuk usaha memanfaatkan gas metana ini seperti yang dilakukan Cina dan Ukraina. Cina dan Ukraina memperoleh insentif keuangan dari UNFCC untuk membiayai proyek-proyek pemanfaatan CMM dari tambang-tambang batubara underground mereka sebagai pembangkit listrik, pemanas, dan bahan bakar kendaraan bermotor. Dari sisi ini, sangat terbuka bagi Indonesia untuk mendapatkan insentif yang sama dari UNFCC untuk pembiayaan pemanfaatan CMM dari tambang batubara underground. Nah, khusus untuk Kalsel yang tambang batubara undergroundnya baru fase awal, maka skema insentif ini tentu sangat strategis untuk dilaksanakan di masa mendatang.

Mengapa CBM?
Sumber energi yang tersedia di bumi dapat dikategorikan menjadi dua: terbarukan dan tidak terbarukan. Tanpa energi maka aktifitas perekonomian dunia akan lumpuh. Trend mendatang, produksi minyak bumi yang termasuk sumber energi yang tidak terbarukan akan semakin menurun karena produksi minyak bumi dunia telah mencapai puncaknya dan tidak dapat digenjot lebih besar lagi. Sesuai hipotesis Hurbert dengan kurva bel-nya, maka setelah mencapai puncaknya, produksi minyak bumi dunia akan mengalami penurunan sampai akhirnya tidak ada lagi minyak bumi.

Menyadari kenyataan ini, baik dari industri maupun pemimpin-pemimpin pemerintahan di dunia mulai melirik gas, yang potensinya sedikit lebih besar dibanding minyak bumi. Namun tetap saja hanya dapat mensuplai kebutuhan energi dalam kurun waktu puluhan tahun saja ke depan. Akhirnya, sebelum nantinya gas habis, upaya lain adalah memanfaatkan sumberdaya energi lain yaitu batubara. Dari segi sumberdaya dan cadangan batubara lebih lumayan karena masih akan tersedia sampai sekitar 200 tahun. Meskipun batubara relatif murah, namun batubara memiliki kelemahan: pertama dari sisi lingkungan, kedua pemanfaatan, dan ketiga dari aspek kepraktisan. Dari segi lingkungan aktifitas penambangan batubara khususnya open pit dipandang terlalu destruktif terhadap lingkungan. Sementara itu dari sisi pemanfaatan sebagai sumber energi, sebagian besar batubara hanya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik/PLTU itupun di banyak negara sudah banyak diprotes karena emisi dan polusi dari PLTU sangat besar. Jika ingin memanfaatkan sebagai bahan bakar alat transportasi, maka kita perlu mendesain kembali alat transportasi kita harus kembali memproduksi kereta api atau kapal uap agar fit dengan batubara yang solid. Ketiga, karena bentuknya yang solid, akan lebih susah untuk mengangkutnya dari tambang ke konsumen alias tidak praktis. Murahnya batubara ternyata harus dikompensasi dengan berbagai kelemahan yang dimilikinya.

Strategi lain adalah memanfaatkan sumber energi dari sumber-sumber yang dapat terbarukan seperti panas bumi, matahari, air, angin, ombak, dan biofuel. Masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Namun secara total porsi pemanfaatan sumber energi terbarukan ini masih kecil, bahkan untuk 20 tahun ke depan. Nah, dari titik inilah ide memanfaatkan CBM/CMM secara luas menemukan urgensinya. Kandungan CBM dalam suatu lapisan batubara sangat besar sehingga potensi sumberdaya CBM bagi daerah yang memiliki batubara seperti Kalsel juga akan besar. Berbagai studi awal menunjukkan bahwa potensi sumberdaya CBM di Kalsel di Cekungan Barito (Barito Basin) berkisar antara 110-120 Trilyun Cubic Feet (TCF). Berita bagusnya adalah, karena batubara Kalsel merupakan batubara sub-bituminus, maka CBM yang terkandung bisa terus terbarukan sehingga tidak akan pernah habis. Mengapa? Karena CBM dalam lapisan batubara ini masih termasuk kategori biogenic methane dimana aktifitas bakteri anaerobik akan selalu menghasilkan metana terus-menerus. Dalam suatu studi awal mengindikasikan bahwa dengan menginjeksikan kembali air yang dipompa keluar saat eksploitasi CBM atau menginjeksikan freshwater dari sumber lain ke lapisan batubara, akan merangsang pasukan bakteri ini untuk terus memproduksi CBM, dengan demikian CBM akan menjadi sumberdaya energi yang berkelanjutan.

Selain potensinya yang besar dan kemungkinan terus terbarukan, pertimbangan lain untuk memanfaatkan CBM adalah karena CBM merupakan energi yang ramah lingkungan, lebih praktis karena berbentuk gas, dan dapat diproses lanjut menjadi Compressed Natural Gas (CNG) dan Absorbed Natural Gas (ANG) sehingga pemanfaatannya semakin luas. Selain itu, karena CBM merupakan hal yang baru baik bagi dunia akademik maupun industri, maka riset di bidang ini masih terbuka sangat luas. Ada gap pengetahuan (knowledge gap) mengenai CBM yang masih perlu diklarifikasi.

Sesungguhnya kehadiran Dr Paul Massarotto, Principal Research Fellow, Energy & Environment (memimpin sekitar 15 peneliti), The University of Queensland, ke seminar dan dialog CBM di Banjarmasin 27 Februari lalu hanyalah bagian kecil dari realisasi kerjasama dan kolaborasi yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang diwakili Gubernur Kalimantan Selatan, Bapak H. Rudy Ariffin dengan The University of Queensland yang diwakili oleh Dr Paul Massarotto di Brisbane, di sela-sela acara Simposium CBM Se-Asia Pasifik September tahun lalu. Tulisan mendatang akan mengulas hal ini dan memaparkan jalan panjang pemanfaatan CBM sebagai sumber energi baru pada akhirnya diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Kalsel.

Telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, kehadiran Dr Paul Massarotto, ke seminar dan dialog CBM di Banjarmasin 27 Februari lalu hanyalah bagian kecil dari realisasi kerjasama dan kolaborasi yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang diwakili Gubernur Kalimantan Selatan dengan The University of Queensland (UQ). Kerangka besarnya adalah menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara Pemprov Kalsel dengan Negara Bagian Queensland, Australia dan bahkan antar negara: Indonesia dan Australia.
Pada saat pertemuan Brisbane pada bulan September 2008 digelar, stakeholders yang hadir diantaranya: The University of Queensland (UQ), LIPI-nya Australia: Commonwealth Scientific And Industrial Research Organisation (CSIRO), Divisi International Collaborations, Department of the Premier and Cabinet, Queensland Government, Australia, Department of Mines & Energy, Queensland Government, dan perwakilan berbagai perusahaan migas (Shell International, Murphy Oil, Santos, dan Arrow Energy). Perwakilan perusahaan tertarik untuk berinvestasi dalam pengembangan CBM di Indonesia sehingga ingin mendengar penjelasan langsung dari Gubernur Kalsel, H. Rudy Ariffin mengenai regulasi dan berbagai isu lain seperti otonomi daerah, akses terhadap lahan, masalah sosial, dll.

Sementara itu, Gubernur Kalsel menawarkan suatu hubungan kerjasama baik di tingkat institusi seperti antar universitas atau antar dinas/departemen teknis di Kalsel dan Queensland maupun antar pemerintahan, Pemprov Kalsel dengan Queensland State Government. Saat ini, tawaran kerjasama antar pemerintahan (Kalsel dan Queensland) ini sejalan dengan adanya perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Australia yang ditanda-tangani tahun 2009 ini. Dengan perjanjian ini, pengusaha-pengusaha Indonesia khususnya Kalsel dapat lebih mudah mengekspor produk-produk unggulannya ke Australia. Tidak perlu yang hitech, produk pertanian semacam pisang-pun bisa mendapat pasar yang baik di Australia, khususnya Queensland. Queenslander (sebutan untuk orang Queensland) sangat menyukai makan pisang, sementara karena keterbatasan lahan dan air, produksi pisangnya terbatas, maka hargapun sangat tinggi.

Sebagai langkah awal setelah pertemuaan Brisbane, maka digodoklah suatu bentuk kerjasama “research and development collaboration on CBM development and technology” antara UQ dengan Pemprov Kalsel yang kemudian didesain untuk diperluas dengan melibatkan perguruan tinggi di Kalsel, yaitu Unlam. Pada tanggal 26 Februari lalu dengan difasilitasi oleh Distamben Prov Kalsel, Dr Paul Massarotto berkesempatan mengunjungi Fakultas Teknik Unlam di Banjarbaru. Pada kesempatan tersebut Dr Paul Massarotto memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa/wi FT Unlam mengenai “CBM Technology” yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai desain bentuk kerjasama antar dua institusi pendidikan: UQ dan Unlam.

Seperti telah disinggung pada tulisan pertama, masih banyak knowledge gap berkaitan dengan CBM yang harus diklarifikasi dengan berbagai kegiatan riset oleh perguruan tinggi. Hal ini merupakan tugas dari perguruan tinggi untuk mengatasinya. Unlam terutama FT-nya masih dalam proses untuk lebih maju baik dalam memajukan kualitas SDM staf pengajarnya maupun fasilitas-fasilitas laboratorium, perpustakaan, dll. Pertemuan antara Dr Paul Massarotto dengan pimpinan FT Unlam beserta staf dosennya bernilai sangat strategis, paling tidak Unlam telah memiliki kontak person penting di UQ, universitas yang termasuk dalam Group of Eight atau grup 8 universitas terkemuka di Australia dan masuk 50 besar universitas terkemuka di dunia. Lebih jauh, para dosen bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk “menjual diri” untuk mendapatkan kesempatan studi program doktor (PhD) ke UQ mengenai CBM melalui Dr Paul Massarotto, karena secara eskplisit Dr Paul Massarotto menyampaikan ingin mencari mahasiswa PhD untuk riset mengenai CBM dan bidang terkait dan membantu pencarian beasiswanya. Pada akhirnya, ada harapan bahwa Unlam nantinya akan menjadi Leading University di bidang riset CBM yang nantinya dapat bersinergi dengan perusahaan CBM di Kalsel dan tidak perlu mengundang universitas-universitas lain di luar Kalsel yang selama ini digandeng industri maupun pemerintah untuk meneliti CBM seperti ITB, UGM, UNPAD, TRISAKTI, maupun UPN.

Jalan Panjang
Seperti yang telah disinggung dalam seminar CBM kemarin, perlu waktu panjang untuk mengembangkan CBM bahkan setelah cadangan CBM dalam suatu daerah telah diketahui. Dari berbagai pengalaman negara-negara yang telah mengembangkan CBM, diperlukan paling tidak waktu 10 tahun untuk mengembangkan CBM sampai ke tahap ekonomisnya. Waktu yang diperlukan ini akan semakin panjang jika tidak ada dukungan nyata baik dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten serta masyarakat secara keseluruhan. Dukungan dari pemerintah dapat berupa insentif atau paling tidak menghindarkan ekonomi biaya tinggi (bermacam pungutan baik resmi maupun ilegal, berbelitnya birokrasi, maupun situasi sosial yang tidak kondusif). Sebagai industri yang baru (frontier industry), industri CBM memiliki resiko bisnis yang besar sehingga tidak ada ruang untuk ekonomi biaya tinggi.

Dari sisi startegi perusahaan CBM, ada tiga fase pengembangan CBM: eksplorasi, pilot project, dan development. Pada tahap eksplorasi, poin-poin pertimbangan adalah persepsi publik terhadap proyek (mendukung atau menolak), besarnya cadangan, hasil tes sumur, hasil uji kualitas air dalam batubara (coalbed water), dan hasil AMDAL proyek. Dalam mengeksploitasi CBM, air dalam batubara harus dipompa keluar terlebih dahulu agar terjadi proses terlepasnya metana dari batubara dan kemudian dialirkan keluar. Air ini perlu dianalisis karakteristiknya, jika memenuhi standar kualitas peruntukannya maka akan dapat dengan mudah ditangani, namun jika belum memenuhi standar maka perlu rencana penanganan dan pengolahan agar tidak membahayakan lingkungan. Semakin dalam lapisan batubara sebagai target CBM maka kemungkinan airnya terlalu asin (saline) sehingga perlu dinetralisir, namun jika masih dekat permukaan, mungkin coalbed water-nya mungkin masih termasuk kategori freshwater. Karena wilayah Barambai yang merupakan daerah rawa-rawa, maka masalah air akan menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan CBM yang memiliki konsesi di Barambai dan sekitarnya. Jika ada masalah serius pada stage ini (misalnya sosial, ekonomi biaya tinggi, atau coalbed water-nya susah di-treatment, dll), maka perusahaan dapat langsung menerapkan exit strategy dengan menghentikan seluruh aktivitasnya dan tidak melanjutkan ke tahapan selanjutnya untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Poin-poin pertimbangan penting pada tahap kedua atau pilot project, antara lain persepsi dan masukan dari publik terhadap proyek, tes CBM flow (berapa yang bisa dialirkan), serta studi lingkungan yang pas sesuai skala proyek, dan membatasi ground disturbance pada lokasi sumur. Seperti pada stage pertama, ada kemungkinan bagi perusahaan untuk menyetop aktivitasnya pada stage ini jika banyak terjadi “gangguan”. Stage terakhir adalah development dimana hal penting yang harus diperhatikan adalah managemen air, pembangunan atau instalasi pipa-pipa dari sumur ke tangki-tangki penampungan dan pabrik pengolah untuk mengkonversi CBM menjadi CNG atau ANG.

Kompetitif
Saat ini harga migas dan batubara memang berada pada level rendah, sehingga CBM yang masih belia sebagai sumber energi baru terlihat tidak menarik dan tidak kompetitif. Jika kita berpikir jangka pendek, tentu apa yang dilakukan saat ini untuk mengembangkan CBM dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia. Namun jika kita mau sedikit berpikir untuk jangka panjang, maka mengembangkan CBM saat ini akan sangat strategis untuk mengantisipasi keadaan 10, 20, atau 30 tahun mendatang dimana permintaan energi akan sangat besar. Pertanyaannya adalah maukah kita berpikir untuk jangka panjang untuk anak cucu kita kelak? Maukah kita memperpanjang visi pembangunan kita tidak hanya dalam kurun waktu masa pemerintahan kita (apakah itu pilbub atau pilgub) namun lebih jauh lagi? Visi jangka panjang inilah yang sebenarnya ingin disamakan dalam acara seminar CBM di Banjarmasin minggu lalu.

Mari berpikir optimis dengan pengembangan CBM dan tidak apriori terhadapnya. Satu fakta yang sulit dibantahkan adalah Kalsel memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Tidak ada juga yang dapat memungkiri kalau CBM merupakan energi bersih. Dan juga tidak ada yang membantah jika saat mendatang Indonesia akan defisit pasokan gas, bahkan saat ini sudah defisit. Nah, mari kita berikan ruang agar industri CBM dan ikutannya tumbuh. Mari kita jauhkan pola pikir instan dimana selalu mengharap hasil besar dalam waktu singkat tanpa kerja keras. Mari juga kita jauhkan pola pikir bahwa perusahaan selalu mendapat keuntungan sangat besar sehingga dapat ”dijadikan mesin ATM gratis” bagi aparat pemerintahan, keamanan, atau masyarakat. Mengembangkan CBM sebagai sumber energi bersih baru harus melalui jalan panjang yang setiap saat bisa terancam gagal.

Saat ini telah ada dua perusahaan yang berani menempuh jalan ”hidup-mati” untuk mengembangkan CBM di Kalsel. Meski sebelum acara seminar CBM di Banjarmasin kemarin digelar, hanya segelintir orang yang tahu bahwa telah ada perusahaan yang memiliki konsesi untuk mengeksploitasi CBM di Kalsel, hal ini tidaklah perlu terlalu dipermasalahkan, karena perusahaan tersebut menang sesuai mekanisme yang diatur oleh Dirjen Migas. Namun, koordinasi antara pemerintah pusat, pemprov, pemkab, dan pengusaha jelas diperlukan sebagai pondasi pengembangan CBM guna mencapai tujuan akhir yaitu kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat lokal, khususnya Batola dapat dicapai.

Satu hal yang saya ingat sewaktu menjadi geologist in charge semburan Barambai 2 tahun silam, adalah saat dimana ada seorang Ibu yang menanyakan apakah gas yang menyembur tersebut dapat bermanfaat dan memberikan kesejahteraan bagi penduduk kampungya. Saya menjawab, ” Iya, Bu. Bisa, namun perlu waktu”. Akhirnya ada sedikit titik terang untuk melangkah memanfaatkan karunia potensi CBM ini. Mewakili Ibu dari Barambai saya juga berharap semoga semburan Barambai yang semula dianggap sebagai bencana pada akhirnya akan membawa banyak manfaat bagi masyarakat Batola, suatu ”blessing in disguise”. Amin.

MELIMPAHNYA SUMBERDAYA ALAM: SUATU KUTUKAN?

Hipotesis “kutukan sumberdaya alam (resources course)” secara jeli mengungkap tabir kenyataan pahit dimana banyak negara-negara dengan sumberdaya alam (SDA) melimpah - khususnya suberdaya mineral- justru masih dicengkeram kemiskinan. Hipotesis ini muncul di tahun 1990an dan dipopulerkan salah-satunya oleh seorang profesor dari Harvard University, Jeffrey D Sach. Menurutnya, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa kutukan ini memiliki dasar fakta-fakta yang solid. Negara-negara dengan SDA melimpah cenderung untuk mengekspor produk bahan mentahnya yang diekstrak dari SDAnya namun gagal dalam memanfaatkan keuntungan ekspor ini untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh lagi, karena begitu menggiurkannya keuntungan mengeksploitasi SDA, maka aktifitas kreatif, inovasi dan enterpreneurship yang penting bagi pertumbuhan ekonomi menjadi mandeg (Gylfason et al., 1999).
Dalam konteks Indonesia (atau bisa ditarik ke dalam konteks yang lebih sempit, daerah), banyak fakta yang memperkuat hipotesis ini. Bagaimana tidak, dengan berbagai kekayaan alam yang dimiliki Indonesia baik hayati maupun non hayati seperti: hutan tropis, lahan yang subur, keelokan pesona alam, aneka sumberdaya mineral dan energi, dan sumberdaya laut dan pesisir, Indonesia masih tergolong sebagai negara berkembang (baca: agak miskin). Data Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Manusia (HPI), dan Produk Domestik Bruto (GDP) tahun 2005 yang dirangkum oleh US Central Intellegence Agency (2008) mempertegas hal ini.
Berdasar HDI, kita menduduki ranking 107 dari 177 negara. Artinya, kualitas sumber daya manusia kita (merujuk pada hasil pembangunan seperti di bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan) masih tergolong rendah. Sementara itu, jika merujuk kepada HPI, kita berada di posisi 47 dari 108 negara. Semakin rendah HPI suatu negara, semakin makmur negara tersebut. GDP Indonesia sekitar 3.800 US $. Jika kita bandingkan dengan Malaysia, yang notabene lebih sedikit memiliki SDA, kita terpaut jauh. Dari sumber data yang sama, peringkat HDI Malaysia berada di posisi 63 dan di posisi 16 berdasar HPI dengan GDP 10.900 US $.
Mari sedikit kita renungkan dengan berkaca pada kondisi kita di Kalimantan Selatan ini. Kalsel memiliki segudang sumberdaya alam, sebut saja: batubara, bijih besi, hutan (yang ini telah mengalami over-eksploitasi), lahan perkebunan dan pertanian nan luas, perikanan, serta keindahan pesona alamnya plus keunikan budayanya. Logikanya, dengan modal sumberdaya alam yang melimpah ini, urang banua semestinya bisa menikmati kehidupan yang (meminjam istilah orang jawa) makmur gemah ripah loh jinawi (makmur-sejahtera-berkelimpahan). Namun, karena SDA yang melimpah mengandung suatu kutukan, maka kenyataannya berbicara lain.
Memang kita dapat dengan mudah melihat sebagian kecil masyarakat Kalsel yang dapat hidup berkelimpahan dari hasil eksploitasi SDA, misalnya batubara. Namun sejatinya, mereka dapat mengecap kue hasil eksploitasi SDA hanya sementara saja karena mereka umumnya mendapat kekayaan dari usaha-usaha non-kreatif, non-inovatif apalagi karena kerja keras ala enterpreneur contohnya dari fee lahan batubara, fee jalan batubara, fee keamanan, fee stockpile, dll.
Akan menjadi parah jika fenomena ini menjangkiti pemerintah daerah (pemda), dimana pemda hanya berperan sebagai, meminjam istilah Gylfason et al., rent-seeking atau pencari rente dari usaha eksploitasi batubara dan mengabaikan kebijakan-kebijakan pembangunan yang pro-pertumbuhan (pro-growth). Pada akhirnya, karena jiwa enterpreneurship baik masyarakat maupun pemda mati maka tak ada yang bisa diharapkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi manakala SDA telah terkuras habis.
Kebijakan yang bisa dianalisa misalnya adalah ijin untuk menggunakan jalan umum bagi angkutan batubara. Kebijakan ini sekilas sangat bagus (untuk sektor pertambangan), karena memberi banyak peluang kerja lintas kabupaten, namun jika dikaji mendalam, kebijakan ini dapat dikatakan timpang karena mengabaikan sektor-sektor lain utamanya transportasi. Dalam hal ini ada hal yang cenderung dilupakan yaitu adanya subsidi tersembunyi pemda bagi pengusaha pertambangan. Sebagai contoh, pelaku pertambangan seharusnya membangun, memiliki, dan merawat jalan tambangnya sendiri. Nah, jika memakai jalan umum, pengusaha mendapat subsidi tersembunyi karena tidak perlu membangun dan tidak perlu repot memperbaiki jika jalan tersebut rusak parah karena pemda siap memperbaiki. Dari contoh ini saja muncul pertanyaan sederhana apakah pendapatan pemda dari royalti batubara (ambil perumpamaan sampai batubara habis dieksploitasi) akan sepadan dengan dana yang diperlukan untuk perbaikan ruas jalan yang rusak tiap tahun?
Pertambangan memang sektor penting bagi ekonomi Kalsel, namun sesungguhnya bukanlah yang paling utama. Ini terkait dengan bentuk kutukan SDA yang lain yaitu konflik-konflik SDA (resources conflicts) yang merujuk fakta adanya perebutan kewenangan untuk mengeksploitasi SDA baik antar dinas/departemen, antar pemda, bahkan antar negara. Perebutan wilayah perbatasan antara Tanah Bumbu dan Banjar jika dicermati dari betapa gigihnya kedua-belah pihak berkonflik, kemungkinan besar konflik ini berakar pada perebutan SDA dan bukanlah persoalan administratif belaka.
Prosentase kontribusi sektor pertambangan bagi GDP Kalsel masih nomor dua setelah pertanian. Gambaran ini sama persis dengan prosentase GDP nasional. Di tahun 2007, secara nasional sektor pertanian menyerap 42.6 juta tenaga kerja sedangkan pertambangan hanya menyerap 1 juta saja (Takii dan Ramstetter, 2007). Jika demikian, tentu lebih bijak jika pemerintah (pusat dan daerah) misalnya mau mengelola secara intensif dengan semangat enterpreneurship dan disertai kerja keras sektor pertanian dan bukan menjadi rent-seeking eksploitasi SDA semata.

BAHAYA AIR ASAM TAMBANG (AAT)

BAHAYA AIR ASAM TAMBANG (AAT)

Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD) merupakan bahaya lingkungan terbesar dari aktivitas pertambangan (batubara, mineral logam, maupun uranium) baik pertambangan di negara-negara berkembang atau maju, baik pertambangan yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif (bekas tambang). Banyak orang menyepelekan masalah AAT baik kalangan umum, pemerintah, dan bahkan industri pertambangan sendiri. Kalangan umum memang wajar jika tidak terlalu memperdulikan problem AAT karena ketidak-tahuan akibat tiadanya informasi.
Dan jika ketidak-tahuan (atau ketidak-mau-tahuan) terjadi di kalangan pemerintah (daerah) maupun pelaku industri pertambangan, maka ini berita buruk. Mengapa? Karena masalah AAT yang berasal dari aktivitas pertambangan ini telah diatur sejak 13 tahun silam melalui Kepmen Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.KJOO8/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum dan Permen Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003.
Memang jika kita baca kedua peraturan tersebut tidak ada secara eksplisit disebut mengenai AAT, hanya ada peraturan mengenai nilai ambang batas pH yaitu 6-9 (Permen Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003). Terkadang aturan mengenai pH ini membuat kita mengambil kesimpulan yang salah, yakni menganggap pH rendah sebagai sesuatu yang buruk. Kesimpulan salah ini ternyata masih dipercaya kebenarannya bahkan oleh pelaku pertambangan. pH memang berhubungan erat dengan keasaman (acidity) namun pH hanyalah indikator konsentrasi ion-ion hidrogen dalam air dan bukanlah indikator utama adanya AAT .


Air Asam Tambang (AAT)
Air dengan pH rendah belum tentu AAT dan juga belum tentu berbahaya. Air dengan pH yang sama-sama rendah bisa berasal dari sumber yang berbeda contohnya yang berasal dari areal tambang dan lainnya berasal dari air rawa/gambut. Air dengan pH rendah dari areal pertambangan ini disebut AAT dan berbahaya, namun air dengan pH rendah pada daerah rawa atau gambut tidak mematikan atau berbahaya bagi lingkungan. Pada AAT, keasaman air berasal dari oksidasi pirit (Pyrite, FeS2) dengan air dan udara menghasilkan asam sulfur (H2SO4) sedangkan pada air pada lahan gambut/rawa berasal dari asam-asam polyuronic di dalam dinding sel Sphagnum (tumbuhan yang banyak terdapat di gambut/rawa) dalam bentuk senyawa COOH.
Keasaman (acidity) dan juga ke-basa-an (alkalinity) dinyatakan dalam mg/l CaCO3. Nah, biasanya air dengan pH rendah aciditynya juga rendah, namun pada AAT total acidity-nya sangat-sangat tinggi (110-64.000 mg/l CaCO3) sedangkan pada air gambut hanyalah berkisar 0.56 – 0.82 mg/l CaCO3. Selain itu, karakteristik lain yang berbeda antara AAT dan air gambut/rawa meski memiliki pH sama rendah adalah tingkat konduktivitas yang tinggi pada AAT (600 – 30.000 µS/cm) dan rendah pada air gambut/rawa (<100 µS/cm) yang terkait dengan kemampuan AAT untuk melarutkan logam berat.
AAT, terutama yang mengalir, memiliki kemampuan untuk melarutkan logam berat dari material yang dilewatinya, umumnya material tanah/batuan penutup pada operasi pertambangan terbuka. Jenis logam berat yang bisa terlarut antara lain: arsenik, kadmium, tembaga, perak, dan seng. Seluruh logam berat ini jika konsentrasinya dalam air melibihi nilai ambang batas, akan sangat mematikan bagi tumbuhan dan hewan yang hidup di perairan.

Sumber dan Bahaya AAT
AAT berasal dari reaksi mineral pirit dengan udara dan air. Mineral pirit sebenarnya adalah mineral yang paling umum di temukan pada kerak bumi. Aktivitas penggalian utamanya dalam skala luas pada kerak bumi seperti pada aktivitas pertambangan akan menyebabkan mineral-mineral pirit terkspose terhadap air dan udara sehingga akhirnya terjadilah AAT. Batuan atau tanah yang banyak mengandung pirit dan menjadi sumber AAT disebut dengan Acid Rock Drainage (ACD). ARD ini dapat terus-menerus menjadi sumber terjadinya AAT bahkan dapat bertahan hingga ratusan tahun (hasil studi Nordstrom dan Alpers (1999) dan Kalin et al. (2006)). Artinya, jika material ARD ini terus-menerus dibiarkan maka ia akan terus-menerus memproduksi AAT, sehingga efek buruknya juga akan berlangsung terus-menerus.
Efek buruk AAT adalah ia sangat mematikan bagi organisme perairan terutama organisme kecil termasuk ikan. AAT tidak juga hanya mencemari perairan namun juga tanah dan lahan. AAT juga meningkatkan laju pelarutan dan melepaskan berbagai jenis logam (utamanya logam berat) yang semakin meningkatkan efek negatif AAT terhadap lingkungan. Bahaya bagi manusia? Tentu air yang terkontaminasi AAT sangat tidak layak untuk dikonsumsi dan AAT dengan sifat korosifnya yang tinggi dapat membuat infrastruktur seperti jembatan dapat cepat berkarat dan rusak.
Negara-negara maju seperti Kanada, Amerika, dan Australia ternyata masih menderita kerugian dari AAT yang berasal dari aktivitas pertambangan puluhan bahkan seratus tahun lampau. Di Australia, biaya rehabilitasi lahan dan perairan untuk menanggulangi AAT mencapai US $ 60 juta (Rp. 600 Milyar) per tahun. Di Kanada bahkan ada departemen khusus untuk menangani AAT yaitu or National Mine Environment Neutral Drainage (Penetralan Air di Lingkungan Tambang Nasional/NMEND).
AAT di Kalsel
Problem AAT di Kalsel adalah sesuatu yang nyata dan bukanlah hanya suatu keniscayaan. Dengan banyaknya aktifitas pertambangan batubara yang ekstensif terutama maraknya penambangan ilegal (PETI) beberapa tahun lampau di Kalsel maka dapat dipastikan AAT telah menjadi problem nyata. Bukaan bekas tambang PETI dan tumbukan overburden (lapisan penutup) batubara yang menyebabkan terekspose-nya material Acid Rock Drainage (ARD) yang kaya mineral pirit menyebabkan adanya sumber AAT yang kontinu sepanjang waktu selama ada air dan udara yang bereaksi dengan pirit.
Ratusan pelaku tambang-tambang kecil yang memperoleh ijin KP dari Bupati sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali melakukan upaya pengelolaan AAT. Beberapa tambang besar (pemegang ijin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B) telah melakukan usaha pengelolaan AAT dengan benar sehingga berhasil menetralkan AAT sebelum masuk ke perairan umum. Sebagian lainnya hanya melakukan upaya pengelolaan AAT setengah hati sehingga hasilnya masih belum sesuai ketentuan (pH netral 6-7) atau membangun kolam pengendapan dan pengelolaan yang tidak cukup untuk meng-cover seluruh AAT di areal tambang. Dengan demikian, AAT telah secara umum mengalir ke perairan umum di Kalsel.
Ke depan
Isu AAT harus senantiasa dihidupkan di Kalsel karena AAT bukanlah masalah sepele namun masalah serius yang dampak negatifnya tidak hanya akan dirasakan generasi saat ini namun juga generasi mendatang. Masyarakat harus mengetahui bahaya AAT ini secara benar karena merekalah yang pertama kali akan merasakan dampak buruknya. Meningkatnya kesadaran lingkungan masyarakat dalam hal AAT akan memberikan social pressure bagi seluruh pelaku pertambangan di Kalsel untuk tidak mengabaikan kewajibannya mengelola AAT dari areal tambangnya dan memastikan seluruh air yang berasal dari areal tersebut telah memenuhi semua parameter kualitas air sesuai ketentuan Permen LH No. 13 Tahun 2003.
Pemerintah, utamanya Pemkab, harus juga pro-aktif untuk mengantisipasi dan menanggulangi problem AAT ini. Pemkab harus punya tanggung-jawab moral untuk menjaga lingkungannya dan tidak hanya terus-menerus menerbitkan KP yang taken for granted tanpa disertai upaya pengawasan bagaimana aktivitas penambangan setelah KP terbit. Ijin KP yang ratusan jumlahnya dalam satu kabupaten bukanlah suatu yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa pemkab-pemkab yang menerbitkannya tidak memiliki sense of belonging terhadap lingkungan dan hanya memiliki sense of getting money secara instan dan cepat. Secepat suatu ijin KP dari eksplorasi sampai produksi keluar yang tanpa disertai upaya pengawasan bagaimana pemilik KP melakukan aktifitas pertambangannya, maka akan secepat itu pula kerusakan lingkungan akan terjadi, tidak hanya terkait AAT namun juga kerusakan lahan berserta keaneka-ragaman hayati di atasnya.
Lebih jauh, pemerintah harus juga mempersiapkan tenaga-tenaga teknis yang kompeten untuk mengawasi aktifitas pertambangan. Kompetensi ini sangat penting dimiliki pemkab untuk menghadapi pelaku pertambangan yang umumnya profesional, sehingga misalnya terjadi adu argumentasi dengan pelaku usaha pertambangan, maka petugas teknis pemkab akan bisa meng-counternya dengan tepat. Misalnya, ada argumen yang menyatakan bahwa menetralisir pH pada AAT tidak penting karena di Kalimantan airnya banyak yang ber-pH rendah. Dengan adanya tenaga teknis yang kompeten, tentu argumen ini dapat dengan mudah dipatahkan.
Kita memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki banyak aturan namun sekaligus bangsa yang gemar melakukan pelanggaran terhadap aturan yang kita buat sendiri. Peraturan hanya macan kertas jika tanpa disertai tindakan tegas implementasinya. Peraturan yang ada sudah sangat jelas bahwa AAT harus dikelola dan hasilnya harus sudah sesuai peraturan yang berlaku sebelum AAT dialirkan ke perairan umum. There is no excuse. Sudah saatnya eksploitasi sumberdaya mineral (terutama batubara) tidak lagi mengorbankan lingkungan.
Kebijakan no excuse atau zero tolerance terhadap pelaku pertambangan mengenai AAT akan membuat pelaku pertambangan untuk lebih besar lagi menambah budget pengelolaan lingkungan dan tidak melulu mengejar target produksi sementara target keberhasilan pengelolaan lingkungan selalu dinafikan. Budget yang cukup dalam pengelolaan lingkungan tidak hanya akan menentukan keberhasilan pengelolaan AAT di areal tambang namun juga akan mendorong industri pertambangan untuk mencoba metode dan teknologi baru pengelolaan AAT.
Selama ini hanya satu teknologi yang dikenal dan dipraktekkan oleh pelaku pertambangan besar dan kecil di Kalsel dalam rangka pengelolaan AAT yaitu melarutkan kapur atau gamping dalam kolam pengendapan dan pengelolaan (settling pond) AAT, padahal di dunia pertambangan masih banyak metode lain yang tersedia baik pengelolaan pasif (passive treatment) maupun aktif (active treatment) AAT. Metode-metode ini tidak melulu memakai teknologi canggih, malah justru saat ini teknologi-teknologi yang ramah lingkungan seperti memanfaatkan tumbuhan perairan rawa/gambut (constructed wetlands) yang dikembangkan untuk mengatasi AAT. Kemandegan metode pengelolaan AAT di Kalsel ini akan pecah jika kebijakan no excuse atau zero tolerance diterapkan kepada seluruh pelaku pertambangan yang beroperasi di Kalsel.