Wednesday, May 27, 2009

HULU SUNGAI UTARA DALAM PERSPEKTIF PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Pendahuluan

Ada suatu kekeliruan umum yang biasanya muncul di benak kita mengenai kekayaan sumberdaya alam pertambangan dan energi, yaitu menganggap bahwa kekayaan alam pertambangan dan energi hanya sebatas mineral dan energi konvensional saja dan melupakan potensi pertambangan dan energi dari sumberdaya alternatif. Kekeliruan lainnya adalah pandangan bahwa daerah-daerah yang tidak ada sumberdaya mineral dan energi dan sepi dengan aktivitas pertambangan selalu susah berkembang secara ekonomi. Semua kekeliruan ini semestinya dihilangkan dari alam pikiran kita.

Daerah-daerah seperti HSU dan Batola di Kalimantan Selatan memang saat ini merupakan daerah yang sepi dari aktivitas pertambangan mineral dan energi seperti mineral dan batubara, namun ternyata menyimpan juga potensi pertambangan dan energi yang sebelumnya bahkan mungkin tidak pernah terlintas di pikiran. Sebagai contoh adalah potensi coalbed methane, energi surya, sampah organik tumbuhan, dan bahkan kotoran ternak.

Tulisan ini selain mengulas betapa kayanya Indonesia dan Kalsel akan sumberdaya mineral dan energi, juga mengingatkan kita bahwa dengan pendekatan kreatif dan berpikir “out of the box” maka segala macam potensi sumberdaya alam non konvensional (termasuk sampah sekalipun) dapat diolah dan dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Profil Pertambangan dan Energi Indonesia

Secara geologis, Indonesia yang merupakan zona tumbukan antara 2 lempeng benua: Indo-Australia dan Eurasia memberikan dampak positif berupa melimpahnya sumberdaya mineral dan energi yang dimiliki Indonesia seperti: emas, tembaga, intan, nikel, bijih besi, mangan, migas, batubara, coalbedmethane, dan berbagai jenis bahan galian industri. Saat ini Indonesia berada di peringkat kedua sebagai produsen timah terbesar dunia, peringkat ketiga produsen tembaga dunia, peringkat keempat produsen nikel dunia, dan memiliki cadangan yang besar emas dalam satu lokasi (Freeport-Papua).

Di kategori energi, Indonesia juga menduduki: peringkat 25 negara dengan potensi minyak terbesar (4.3 milyar barrel), peringkat 21 penghasil minyak mentah terbesar dunia (1 juta barrel/hari), peringkat 24 negara pengimpor minyak terbesar (370.000/hari), peringkat 22 negara pengonsumsi minyak terbesar (1 juta barrel/hari), peringkat 13 negara dengan cadangan gas alam terbesar (92.9 trillion cubic feet), peringkat 8 penghasil gas alam terbesar dunia (7.2 tcf), peringkat 18 negara pengonsumsi gas alam terbesar (3.8 bcf/hari), peringkat 2 negara pengekspor lng terbesar (29.6 bcf), peringkat 16 negara dengan cadangan batubara terbesar (11.5 milyar ton), peringkat 18 negara pengonsumsi batubara terbesar (27.7 juta ton equivalen), peringkat ketujuh produsen batubara, peringkat kedua negara pengekspor batubara terbesar batubara di dunia, dan peringkat 19 negara penghasil gas co2 dari sektor industri (359 juta ton co2).

Dalam kategori energi alternatif, Indonesia memiliki potensi energi yang juga luar biasa diantaranya energi air, panas bumi, mikro-hidro, biomassa, surya, angin dan uranium (tabel 1).

Tabel 1: Jenis dan Potensi Energi Alternatif Indonesia

ENERGI

NON FOSIL

SUMBER

DAYA

SETARA

PEMANFAATAN

KAPASITAS

TERPASANG

Tenaga Air

845,0 juta

BOE

75,67 GW

6.8851,0 GWh

4,2 GW

Panas Bumi

219,0 juta

BOE

27,00 GW

2.593,50 GWh

0,8 GW

Mini/micro hydro

0,46 GW

0,46 GW


0,054 GW

Biomasa


49,81 GW


0,302 GW

Tenaga Surya


4,80 kWh/m2/hari


0,005 GW

Tenaga Angin


9,29 GW


0,0005 GW

Uranium

34.112 ton

33,0 GW



Profil Pertambangan dan Energi di Kalimantan Selatan

Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan luas wilayah paling kecil dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Kalimantan, namun memiliki sumberdaya mineral dan energi yang signifikan, misalnya batubara dan coalbed methane. Cadangan batubara Kalsel merupakan yang ketiga terbesar di Indonesia setelah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, namun produksi batubara Kalsel adalah yang terbesar. Potensi sumberdaya coalbed methane Kalsel merupakan yang terbesar di Indonesia, umumnya berada di Cekungan Barito dengan perkiraan potensi sebesar 101 TCF. Kalsel juga kaya bahan mineral logam seperti bijih besi dan mangan serta berbagai jenis bahan galian industri seperti serpentinit, lempung, marmer, dll.

Perusahaan pertambangan dan energi yang beroperasi di Kalsel didominasi oleh perusahaan pertambangan batubara. Struktur produsen batubara ini dapat dikelompokkan menjadi dua: perusahaan besar pemegang ijin PKP2B dari pemerintah pusat dan perusahaan kecil pemegang ijin KP dari Bupati. Jumlah perusahaan PKP2B ini adalah 24 sedangkan jumlah KP lebih dari 10 x lipatnya yakni sekitar 290 buah.

Batubara produksi dari Kalsel umumnya adalah batubara termal (steam coal) yang dipergunakan sebagai bahan pembangkit listrik (PLTU). PLTU Asam-Asam yang saat ini memasok listrik di wilayah Kalsel dan Kalteng memiliki daya 2 x 65 MW dan tahun ini telah dimulai pembangunan unit baru dengan kapasitas 65MW. Secara regioanal, saat ini Kalsel dan Kalteng masih mengalami defisit listrik. Namun dengan selesainya pembangunan 2 unit pembangkit baru maka diharapkan krisis listrik tidak terjadi lagi. Di tingkat negara-negara ASEAN, Indonesi memiliki rasio elektrifikasi paling rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya bahkan masih kalah dibandingkan Philipina yang tidak memiliki cadangan batubara.

HSU dalam Konteks Pertambangan dan Energi

Secara faktual, tidak ada aktivitas pertambangan mineral dan energi di Kabupaten HSU, namun secara geologis masih mungkin di HSU ditemukan bahan mineral dan energi seperti endapan sekunder pasir besi ataupun coalbed methane (CBM) dan migas. Untuk sisi keekonomiannya tentunya diperlukan usaha ekplorasi dan prospeksi yang benar.

Selain itu, merujuk pernyataan di awal tulisan ini, bahwa sumberdaya pertambangan energi tidaklah hanya terbatas sumberdaya mineral dan energi yang konvensional saja, namun juga mencakup sumberdaya alternatif seperti: surya, biomassa, biogas, dan air tanah. Potensi sumberdaya alam ini tentu jika dapat dikelola dengan baik akan menjadi modal pembangunan yang sangat penting yang dapat berperan dalam menggerakkan perekonomian daerah dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Paradigma yang mesti ditumbuh-kembangkan adalah mengenal dan mengetahui karakteristik sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah dan berpikir kreatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya diluar pemanfaatan yang sudah umum. Sebagai contoh adalah pemanfaatan kotoran ternak (sapi, kerbau). Sudah lazim kita memanfaatkannya sebagai pupuk kandang. Dan telah mulai lazim kita memanfaatkannya sebagai sumber biogas untuk keperluan rumah tangga, namun ternyata ada manfaat tersembunyi lain dari kotoran ternak ini yang mungkin belum terlintas di pikiran kita yaitu sebagai bahan baku bata! Ide memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan bata berkualitas tinggi dan ramah lingkungan ini dikenal dengan brand EcoFaeBrick dikembangkan oleh tim kreatif anak negeri yang akhirnya memenangkan kompetisi internasional Global Social Venture Competition (GSVC) 2009 di Amerika Serikat. Juri dalam kompetisi tersebut mengakui bahwa ide ini menghasilkan profit usaha, menjaga kelestarian lingkungan, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Kesimpulan

Paradigma yang memandang bahwa sumberdaya mineral dan energi hanyalah batubara dan migas dan pandangan bahwa daerah yang miskin sumberdaya mineral dan energi selalu sulit berkembang secara ekonomi harus dihilangkan.

Setelah paradigma tersebut dapat dikikis, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi seluruh potensi daerah yang ada baik yang kasat mata atau yang tersembunyi dan kemudian secara kreatif dan dengan pola pikir “thinking out of the box” mengidentifikasi semua kemungkinan pemanfaatan sumberdaya alam tadi agar bernilai ekonomis dan bermanfaat luas bagi masyarakat. Beranikah kita mencoba?

KALSEL, BATUBARA, DAN KESEJAHTERAAN

Adalah tugas pemerintah pusat dan daerah untuk mendistribusikan manfaat pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki bagi kesejahteraan rakyat tanpa kecuali. Namun yang sering terjadi adalah tidak adanya pendistribusian hasil-hasil eksploitasi sumberdaya alam kepada rakyat kecuali pendistribusian keuntungan tersebut yang berputar kepada: penguasa dan pengusaha. Ironisnya, seakan sudah jamak jika yang pertama kali merasakan semua dampak negatif eksploitasi sumberdaya alam ini adalah mereka yang tidak ikut merasakan keuntungan dari eksplotasi ini.

Potensi cadangan batubara Kalsel sekitar 1.8 milyar ton, terbesar ketiga di Indonesia, dan jika dieksploitasi dengan kecepatan produksi 24 juta ton/tahun, maka masih akan berlangsung sampai lebih dari 70 tahun. Jika ditilik ke belakang, eksploitasi batubara mulai marak pada awal tahun 2000, pada momentum yang tepat: pasar yang luas, harga batubara yang baik, dan euforia otonomi daerah. Pada waktu itu, sangat sulit membedakan pelaku penambangan legal dan ilegal. Sayangnya, hiruk pikuk aktivitas penambangan batubara tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat. Rakyat hanya terima debu jalanan dari truk-truk batubara dan debu batubara. Saat ini, memang telah banyak perubahan, penambangan ilegal sudah tidak nampak lagi. Hanya saja, rakyat masih harus menerima debu batubara dan debu jalanan dari truk-truk batubara yang lewat jalan umum sampai kebijakan larangan pemakain jalan umum untuk angkutan batubara diterapkan.

POKOK MASALAH

Mereka yang seharusnya menerima manfaat terbesar dari usaha pertambangan yang berlangsung adalah masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Nah, persoalan saat ini adalah masyarakat belum memperoleh manfaat optimal dari eksploitasi mineral khususnya batubara. Memang usaha pertambangan batubara adalah usaha padat modal, teknologi, dan umumnya tidak padat tenaga kerja. Meskipun beberapa perusahaan pertambangan besar menyerap ribuan tenaga kerja, tetap saja yang diserap adalah tenaga kerja terampil dan profesional. Kualifikasi terampil dan profesional inilah yang sangat sulit dipenuhi oleh penduduk lokal yang tinggal disekitar aktivitas pertambangan dan bahkan mungkin di level provinsi sekalipun, sehingga mereka yang ingin bekerja di perusahaan tambang harus tersingkir dari kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Di satu sisi perusahaan dengan investasi yang besar, yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana investasi tersebut dapat dengan cepat kembali dan hasil investasi dapat cepat pula diperoleh.

Beberapa perusahaan besar memang telah mengembangkan apa yang disebut “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)” namun desain program ini tidak lebih dari program charity semata yang sifatnya insidental semisal bantuan untuk kegiatan pengajian, HUT kemerdekaan dll. Selain itu tidak ada kejelasan berapa besar dari keuntungan perusahaan yang seharusnya dialokasikan untuk program CSR dan CSR lebih banyak dimaknai sebagai usaha promosi atas kebaikan perusahaan dan bukan sebuah tanggung jawab moral yang mesti dilakukan perusahaan. Namun, CSR ini tidak dikenal oleh perusahaan skala menengah yang memiliki ijin KP dari pemkab dan karenanya, perusahaan sekelas KP ini tidak melaksanakannya. Masalahnya, jumlah perusahaan kelas KP jauh lebih banyak daripada perusahaan pertambangan besar.

Kondisi ini bertambah kompleks manakala ternyata pemerintah daerah yang seharusnya, sesuai tugas dan fungsinya mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali, justeru gagal melihat persoalan ini sesuai konteksnya. Pemda utamanya pemkab yang sesuai amanat UU otonomi memiliki kewenangan di bidang pertambangan di daerahnya, saat ini terjebak untuk mengeksploitasi seluruh sumberdaya mineralnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kas pemkab dan bukan berusaha sekeras-kerasnya mendistribusikan keuntungan eksploitasi mineral. Ratusan ijin Kuasa Pertambangan eksplorasi, eksploitasi dan produksi yang diterbitkan pemkab menjadi bukti kuat indikasi ini. Mungkin langkah ini banyak memiliki berbagai pembenaran. Tapi ada satu hal yang pasti, menumpuknya keuntungan di kas pemkab dengan banyaknya ijin KP yang terbit ternyata tidak berkorelasi lurus dengan meratanya kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak masyarakat terutama di sekitar tambang.

SOLUSI

Pertama, masyarakat lokal seharusnya diikut-sertakan dalam pegambilan keputusan apapun yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung di tanah mereka. Memang terdengar klise, namun bukanlah hal yang mustahil dilaksanakan. Penguatan kapasitas masyarakat lokal diperlukan agar masyarakat ini mampu berperan menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Saat ini, posisi tawar masyarakat sangatlah rendah karena berbagai hal seperti: ketidak-tahuan masyarakat akan kandungan kekayaan alam di daerahnya karena minimnya akses informasi, belitan kemiskinan, dan rendahnya pendidikan. Distamben pemkab dan juga pemprov harus berperan aktif menyebarkan informasi sumberdaya mineral kepada masyarakat dan perlu juga diinformasikan mengenai dampak negatifnya jika aktivitas pertambangan dilaksanakan. Dengan demikian masyarakat lokal memiliki informasi yang utuh sebagai bahan mengambil keputusan.

Memang langkah ini bisa memancing para spekulan, utamanya spekulan tanah, untuk beraksi. Sebagai contoh, manakala informasi mengenai potensi coalbed methane (CBM) di Batola diekspose, maka berbondong-bondong para spekulan mulai beraksi membeli tanah di daerah yang menurut para sepekulan akan menjadi lokasi proyek ekplorasi dan eksploitasi CBM. Nah, masyarakat lokal ini perlu juga berhati-hati untuk tidak terbujuk rayuan spekulan tanah ini karena sekali tanah terbeli, maka putuslah benang antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alamnya.

Kedua, mengakhiri selingkuh penguasa-pengusaha. Penguasa disini memang tidak melulu bupati, gubernur ataupun kadis, namun bisa juga “orang yang berpengaruh” lainnya misalnya tokoh parpol, anggota DPRD, dll. Bukanlah hal rahasia jika perselingkuhan ini terjadi dan sudah kasat mata. Perselingkuhan ini akan saling menguntungkan bagi penguasa dan pengusaha namun merugikan bagi masyarakat lokal. Pengusaha akan merasa tidak perlu memperhatikan masyarakat lokal karena merasa sudah berbuat banyak kepada penguasa dan sebagai imbalannya, seluruh aktivitas pengusaha akan dilindungi.

Ketiga, reformasi birokrasi daerah. Distamben baik provinsi maupun kabupaten sebagai instansi teknis pembina dan pengawas aktifitas pertambangan daerah harus dijaga “taring”nya. Untuk menjaga “taring” tetap tajam perlu dihindarkan “perselingkuhan penguasa-pengusaha” agar konflik kepentingan tidak terjadi. Terkadang yang terjadi adalah “perselingkuhan yang terpaksa” karena seringkali kita mendengar keluhan dari pengusaha agar menyetor sekian persen dulu bahkan sebelum proyek dimulai. Tentu reformasi ini sangat sulit dilaksanakan karena akan banyak resistansi dari berbagai pihak. Nah, agar ini dapat terjadi, maka prinsip transparansi mesti sudah diterapkan agar masyarakat luas dapat ikut mengawasi kinerja dinas.

Keempat, penguatan kelembagaan non formal dan masyarakat umum. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat mestinya tidak dipandang sebagai “oposisi” dari berbagai kebijakan pemerintah, namun mestinya dipandang sebagai mitra penting pemerintah dalam proses pembangunan. Kontrol LSM akan semakin mempertajam “taring” dinas teknis atas pengusaha, utamanya yang nakal. Masyarakat umum yang kuat akan semakin kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Adanya rubrik-rubrik seperti surat pembaca, kriing, atau yang sejenis di media massa akan menjadi saluran cepat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan menyampaikan semua uneg-uneg tanpa ada rasa takut.

Kelima, perlunya kesadaran pengusaha dan pemilik modal bahwa semangat jaman saat ini menuntut mereka untuk ikut bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat khususnya di sekitar wilayah aktifitas proyek mereka. Integrasi semangat tanggung jawab sosial perusahaan dengan program pembangunan pemerintah akan berdampak sangat positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal misalnya perbaikan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kesinambungan penghasilan dll. Akhirnya, harapan yang mesti terwujud adalah jangan sampai seluruh batubara di Kalsel habis dieksploitasi namun masyarakatnya masih belum sejahtera

JALAN NEGARA DAN TRUK BATUBARA

Masyarakat memang masih harus menunggu sampai akhir Juli mendatang untuk bisa terbebas dari debu truk batubara di jalan umum, namun berita sosialisasi larangan penggunaan jalan umum sebagai jalan angkut batubara menjadi semacam asa yang telah lama ditunggu. Tentu, sebelum asa ini menjadi kenyataan nantinya, kita hanya bisa berharap tidak akan ada lagi yang namanya “kebijakan” atau dispensasi apapun yang mementahkan aturan larangan penggunaan jalan umum bagi truk-truk batubara.

Setiap peraturan yang mengatur kepentingan orang banyak yang tentu punya berbagai kepentingan berbeda, pastilah akan menimbulkan pro dan kontra termasuk perda larangan penggunaan jalan negara untuk keperluan pertambangan. Mereka yang menolak pemberlakuan larangan ini tentu saja akan mencari berbagai pembenaran yang diantaranya adalah berlindung di balik pasal 91 UU Minerba (UU No 4 Tahun 2009) yang berbunyi “Pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” dan beberapa argumen terkait dengan kemungkinan hilangnya berbagai kesempatan kerja yang tercipta dari pengangkutan batubara lewat jalan umum.

Subtansi Aturan Publik

Subtansi suatu aturan yang menyangkut kemaslahatan publik seharusnya memang berpihak kepada publik dan bukan kepada kepentingan pihak tertentu, meskipun memang tidak boleh juga menafikan atau mengabaikan kepentingan stakeholder lain seperti misalnya pengusaha. Jadi suatu aturan publik seharusnya dibuat agar publik secara keseluruhan dapat memperoleh manfaat yang lebih besar daripada mudharatnya.

Pasal 91 UU Minerba memang dapat dipakai sebagai pembenar penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara jika pasal ini dipahami secara sempit. Mari sedikit kita perluas. Pertama, mengapa pasal ini bisa muncul? Karena memang sebenarnya tidak mungkin melarang pengangkutan bahan tambang dari lokasi asalnya ke konsumen tanpa memakai jalan umum. UU Minerba mengatur pertambangan mineral secara luas termasuk pertambangan mineral bukan logam dan batuan semacam bahan galian industri (batugamping, zeolit, mika dll), bahan galian keramik (kaoli, clay, dll), bahan konstruksi (granit, marmer, andesit, dll) dan bahan galian batu mulia. Sulit dibayangkan jika semua bahan galian di atas, misalnya batu gunung, tidak boleh diangkut melalui jalan umum. Dan lagipula, meskipun ada, jarang kita mendengar banyak komplain dari masyarakat jika ada truk pasir dan batu berseliweran di jalan umum karena memang jumlah truk-truk ini tidak mencapai ribuan.

Kedua, justru karena pasal ini terlalu umum, perlu aturan yang lebih khusus lagi sesuai konteks kondisi daerah. Untuk konteks Kalsel, jelas sudah bahwa pemanfaatan jalan umum untuk angkutan batubara lebih banyak menimbulkan mudharat dibanding manfaatnya, sehingga seharusnya sudah dilarang. Mudharat membiarkan ribuan truk batubara berseliweran di jalan umum tiap malam dari yang paling besar ke paling kecil antara lain: jalan dan jembatan umum jauh lebih cepat rusak (contohnya ruas jalan di Tapin, Banjar, Banjarmasin, Tala, Tanbu dan bandingkan dengan ruas jalan ke Amuntai), selain itu sudah cukup banyak kasus lakalantas yang melibatkan truk batubara sebagai biang keladinya, mudharat lainnya adalah besarnya kemungkinan penyakit ISPA pada mayarakat di pinggir jalan yang dilalui ribuan truk batubara tiap malam, hilangnya kemerdekaan masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan berkendaraan di jalan umum, banyaknya potensi konflik horisontal di masyarakat (contohnya kasus penutupan jalan oleh masyarakat yang berbuntut ketegangan antara masyarakat dan sopir truk batubara), dan kemungkinan menurunnya kualitas lingkungan akibat tumpahnya batubara di jalan, ceceran oli truk pengangkut dll. Bagaimana dengan manfaat ke publik? Ada yang berargumen bahwa penggunaan jalan umum untuk batubara akan mendorong terciptanya banyak lapangan kerja informal seperti ribuan sopir, warung-warung, pekerja penutup terpal, petugas pengatur lalu lintas, bengkel truk, tambal ban, dll. Memang benar, tetapi apakah kesempatan kerja ini akan hilang jika ribuan truk ini pindah ke jalur khusus batubara? Tidak kan? Tentu yang terjadi hanyalah perpindahan berbagai jenis usaha ini dari misalnya jalan di Danau Salak – Martapura ke jalan khusus batubara.

Ketiga, masih terkait dengan argumen kedua di atas, yaitu pentingnya kita mengingat kembali asas dan tujuan UU Minerba ini yang tercantum di pasal 2 bahwa pertambangan mineral dan atau batubara dikelola berasaskan, diantaranya: manfaat, keadilan, dan keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Usaha angkutan adalah salah satu bagian dari usaha pertambangan mineral dan batubara yang tentu saja harus mengikuti asas-asas di atas. Asas manfaat tidak akan tercapai jika pemerintah mengijinkan ribuan truk batubara melintas di jalan umum sebagaimana fakta yang terjadi menunjukkan akan lebih banyak mudharatnya. Asas keadilan juga sulit dipenuhi karena, jalan umum dibangun dengan uang rakyat dan dipelihara juga dengan uang rakyat, sehingga menjadi tidak adil jika pengusaha batubara memakainya secara taken for granted alias gratis. Selama ini yang terjadi adalah, rakyat mensubsidi pengusaha dengan dipakainya jalan umum yang dibangun dan dipelihara dengan uang pajak rakyat dan pengusaha tidak perlu membangun jalan sendiri untuk mengangkut batubaranya. Selanjutnya keberpihakan pada kepentingan bangsa, dalam konteks pemanfaatan jalan umum bagi angkutan batubara, tidak terpenuhi karena, jelas bahwa mengijinkan ribuan truk batubara di jalan raya adalah bukti keberpihakan terhadap kepentingan pengusaha dan bukan masyarakat luas sebagai representasi bangsa.

Instrumen Lain

Beberapa instrumen lain untuk melarang ribuan truk batubara melintas di jalan umum adalah, pertama dengan mengijinkan truk-truk batubara melintas di jalan umum namun harus “memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan”. Terdengar seperti paradoks, namun jika kita kaji secara teknis dan ekonomis akan tidak menguntungkan pengusaha batubara. Mengapa? jika angkutan batubara diijinkan di jalan umum maka truk-truk batubara ini harus mematuhi UU lalu lintas dan angkutan jalan yang diantaranya harus memenuhi syarat pembatasan tonase dimana untuk kelas jalan III maksimum boleh dilalui kendaraan bertonase 8 ton. Konsekwensinya adalah secara ekonomis pengusaha angkutan batubara akan sulit mendapatkan untung jika hanya boleh mengangkut maksimum 8 ton batubara per truk. Nah, jika aturan batasan tonase ini dilanggar denda yang sangat besar harus diterapkan. Masyarakat juga memiliki posisi tawar yang tinggi, misalnya di Banjarmasin yang jalan umum dekat perumahannya dilalui truk ini dengan memberikan dis-insentif seperti pungutan “dispensasi untuk debu”, “dispensasi untuk kebisingan”, atau “dispensasi hilangnya kenyamanan” dll.

Instrumen jitu lainnya sebenarnya sangat mudah dan tidak berisiko banyak yaitu penutupan stockpile dan pelsus batubara di Banjarmasin yang aksesnya melalui jalan darat. Hanya saja karena berbagai pertimbangan, kebijakan ini terlihat begitu sangat sulit diambil oleh Pemko Banjarmasin. Entahlah. Padahal dengan ditutupnya stockpile dan pelsus batubara di Banjarmasin, tidaklah mungkin ribuan truk batubara akan melintas dari jalanan umum di Tapin, Banjar, Banjarbaru, dan Banjarmasin. Mungkin, jika masyarakat tidak memberikan persetujuaan perpanjangan ijin operasi atau memprotes keberadaan stockpile di sekitar wilayah pemukiman mereka, bisa jadi Pemkot Banjarmasin bisa tergerak untuk mengkaji keberadaan stockpile batubara di kotanya.

Instrumen selanjutnya adalah adanya jaminan kepastian hukum. Maklum, menjelang pergantian anggota DPRD yang terhormat di tingkat provinsi dan pilkada. Pengusaha batubara juga perlu kepastian hukum dalam jangka panjang. Hal ini terkait dengan kepastian masa depan investasi yang mereka tanamkan untuk membangun jalan khusus batubara. Percuma saja saat ini ada perda pelarangan angkutan batubara di jalan umum, jika nantinya di tangan anggota DPRD yang baru malah dibolehkan.

Akhirnya, mari kita belajar melihat kepentingan yang lebih besar, lebih luas, dan berpikir untuk jangka panjang. Di tengah semakin menurunnya kualitas infrastruktur kita (baca: semakin rusaknya infrastruktur kita) seperti jalan dan jembatan, tidaklah elok jika pemerintah menelorkan kebijakan yang semakin memperparah keadaan ini. Semangat memelihara infrastruktur haruslah dimiliki semua komponen: pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Infrastruktur umum seharusnyalah memang untuk mendukung kepentingan publik, untuk sarana pergerakan ekonomi yang lebih luas dan bukan sektoral.