Wednesday, July 29, 2009

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) (ditulis 2006)

Ironis. Itu kata yang tepat untuk saya katakan saat melihat kenyataan betapa rendah kepedulian perusahaan pertambangan yang berada di Kalimantan Selatan terhadap kemajuan pendidikan di Kalsel. Kesimpulan ini mungkin terlalu terburu-buru atau mungkin ada yang menanyakan apa hubungan antara perusahaan pertambangan di Kalsel dengan pendidikan?. Kesimpulan di atas saya ambil setelah melihat minimnya respon perusahaan-perusahaan pertambangan baik pemilik ijin PKP2B dan KP maupun Sub-Kontraktornya saat SMK (Sabumi) Pertambangan, Banjarbaru memohon (benar-benar memohon) untuk dapat melaksanakan program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di perusahaan tersebut. PSG dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari kurikulum SMK yang harus dan wajib dipenuhi dan biasanya waktu pelaksanaannya pada semester ganjil untuk siswa kelas XII (kelas 3). Selama satu semester tersebut siswa hanya menjalani PSG dan nilai raportnya hanya berisi nilai hasil PSG saja. Jadi jika PSG tidak dapat dilaksanakan maka otomatis nilai raportnya akan kosong. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa pentingnya PSG bagi siswa, guru maupun sekolah. Nah, karena SMK dengan program keahlian geologi pertambangan, maka tentu saja pelaksanaan PSG-nya pada perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada di Kalimantan Selatan.
Minimnya respon dari perusahaan-perusahaan tersebut terlihat dengan sedikitnya balasan surat kepada SMK (Sabumi) Pertambangan atas surat permohonan pelaksanaan PSG. Dari 34 (tiga puluh lima) surat permohonan PSG, tercatat hanya beberapa buah surat balasan dari perusahaan yang kami terima, itupun tidak semuanya bisa menerima siswa untuk melaksanakan PSG. Padahal, untuk tahun ini siswa SMK (Sabumi) Pertambangan yang wajib melaksanakan PSG hanya berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, sehingga jika ke-34 perusahaan pertambangan dan sub-kontraktornya yang ada di Kalsel menerima 1 (satu) saja siswa SMK Sabumi, maka akan ada kelebihan tempat. Namun, faktanya setelah hampir 2,5 bulan menunggu ternyata masih ada 8 (delapan) siswa yang masih belum mendapat tempat untuk melaksanakan PSG. Pertanyaan kecilnya adalah, apakah begitu merepotkan atau memberatkan keuangan perusahaan apabila menerima satu atau dua siswa untuk PSG selama 2-3 bulan? Adapun pertanyaan besarnya adalah, apakah rendahnya respon terhadap hal ini memang mencerminkan rendahnya tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) perusahaan-perusahaan pertambangan di Kalsel?
Corporate social responsibility (CSR)
Istilah semacam Community Development (CD) mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita, namun sebagian besar dari kita (masyarakat, perusahaan maupun pemerintah) memaknai CD hanyalah sebagai suatu kegiatan perusahaan seperti bakti sosial, santunan, bantuan ini-itu, dan bermacam door-prize saat ada event-event penting seperti pameran pembangunan atau peringatan Agustusan. Jadi CD dimaknai hanya sekedar charity atau kemurahan perusahaan semata dan bagi perusahaan itu dianggap sudah cukup sebagai bukti bahwa mereka memiliki kepedulian sosial atau telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sekitarnya. Apakah benar demikian? Tentu saja tidak. Itu saja tidak cukup.
Pelaksanaan CD memang dapat dimaknai sebagai bentuk pengejawantahan dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar, namun jika pelaksanaanya hanya berupa hal-hal yang berbau charity tentu tidak akan memberikan perubahan berarti pada masyarakat sekitar. Kita ambil gambaran tentang kondisi masyarakat sekitar operasi penambangan perusahaan besar. Kita dapat mengamati apakah ada perubahan kesejahteraan mereka dengan kehadiran korporat di wilayahnya? Atau justru yang terjadi masyarakat yang mulanya miskin, semakin terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan oleh kehadiran perusahaan?. Jika ini yang terjadi, maka dapat dipastikan perusahaan tersbut tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan secara baik terhadap masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan alih-alih melakukan pemberdayaaan masyarakat sekitar dengan melakukan program CD yang baik, mereka justru cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
CSR dimaknai sebagai kewajiban perusahaan untuk sensitif terhadap segala kebutuhan stakeholder saat beroperasi. Stakeholder di sini adalah mereka yang dapat terkena pengaruh atau dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan perusahaan, seperti pekerja, penduduk lokal, organisasi kemasyarakatan, investor, pelanggan, dan lain-lain. Memang, saat ini, CSR masih sebatas wacana di Indonesia. Namun jika mengacu pada hasil pertemuan antar korporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan 'Corporate Social Responsibility-Concepts and Solutions', maka pada intinya CSR merupakan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha. Artinya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk menghindar dari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sekitar. Selanjutnya, perusahaan perlu menimbang-nimbang setiap kebijakan yang akan diambilnya tidak hanya berdasar pada faktor keuntungan semata namun juga memasukkan pertimbangan sosial dan lingkungan.
Perusahaan yang hanya mengejar keuntungan semata dalam menjalankan operasinya adalah perusahaan dengan paradigma lama yang telah usang. Perusahaan usang seperti ini akan selalu menemui kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya karena tidak akan pernah mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya. Padahal masyarakat sekitar sesungguhnya merupakan modal sosial yang penting bagi perusahaan untuk menjamin kelangsungan usahanya. Jika perusahaan mau sedikit memperhatikan dan mengelola modal sosial ini, maka efek ganda yang tercipta akan sangat banyak. Misalkan, dengan melaksanakan program CD yang berkesinambungan, tidak hanya perusahaan diuntungkan dengan besarnya dukungan masyarakat sekitar yang besar, namun juga akan mampu menggerakkan roda ekonomi mikro, meningkatkan kemampuan SDM lokal, dan peluang-peluang sosial-ekonomi lainnya di masyarakat. Tentu saja program CD nya bukan sekedar bagi-bagi bantuan, namun program pemberdayaan yang memacu masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi alam lokalnya secara optimal dan berkelanjutan, sehingga nantinya setelah perusahaan tersebut tidak lagi beroperasi maka masyarakat siap melanjutkan hidupnya secara mandiri. Itu kerangka besarnya.
Dari aspek hukum, memang selama ini CSR bersifat sukarela (voluntarily), jadi memang wajar jika pelaksanaannyapun berdasar persepsi masing-masing perusahaan. bebas. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. Tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. (OKY SYEIFUL R. HARAHAP, 2006). Dengan adanya ketegasan mengenai CSR di Indonesia, maka perusahaan akan berpikir seribu kali jika ingin mengabaikannya. Namun, tentu saja sebenarnya yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran internal perusahaan bahwa pelaksanaan CSR bukanlah suatu beban keuangan namun CSR adalah suatu investasi sosial yang nantinya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan di masa mendatang, meskipun keuntungan tersebut tidak dalam bentuk finansial.
Jika kita tarik benang merah, perusahaan pertambangan di Kalsel ternyata memiliki kesadaran yang rendah dan kepedulian sangat lemah terhadap pelaksanaan CSR khususnya di bidang peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) lokal di Kalsel. Tiadanya balasan sama sekali atas surat permohonan resmi pelaksanaan PSG juga menunjukkan rendahnya etika bisnis yang dipraktekkan perusahaan-perusahaan pertambangan ini. Apakah hanya karena dari sebuah institusi pendidikan swasta maka boleh diabaikan? Adanya keengganan menerima dengan berbagai alasan tidak ada tempat dll, tentu tidak masuk akal bagi perusahaan kelas besar. Jika siswa kami tidak bisa mendapat tempat di perusahaan anda, seharusnya perusaahaan anda juga tidak bisa mendapat tempat di wilayah kami.
Jika kita sedikit kritis dan perusahaan mau jujur, maka menerima satu orang siswa saja dapat dipastikan tidak akan mengurangi sedikitpun jumlah keuntungan yang dikeruk dari usaha pertambangan yang dilakukan. Dan jika mereka memang pelit dalam mengeluarkan biaya, ada baiknya bercermin terhadap CSR yang dituntut masyarakat di sekitar wilayah eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Tanggung jawab sosial yang dituntut sangat-sangat besar (bernilai triliunan rupiah) dan sungguh-sungguh membuat pusing tujuh keliling. Nilai tersbut jika dibandingkan dengan sedikit uang lelah dan makan siang serta kerepotan yang ditimbulkan karena menerima siswa PSG, tentu sangatlah tidak seberapa.
Akhirnya, mari semua pihak untuk ikut peduli terhadap investasi peningkatan kualitas SDM di Kalsel. Keuntungan besar dari usaha pertambangan di Kalsel tidak akan berarti dalam jangka panjang jika kita terlambat berinvestasi di bidang peningkatan kualitas SDM. Jika bahan galian mineral habis, mungkin perusahaan masih tetap akan tersenyum karena mereka pulang dengan membawa kapital sangat besar, namun bagi masyarakat lokal yang tentu tetap di sini, adilkah untuk ditinggalkan dalam keadaan miskin dan bodoh?
Didik Triwibowo
Geologist, Ketua PSG
SMK (Sabumi) Pertambangan Banjarbaru
Email : d12k3w@yahoo.com

BLOK CEPU (ditulis 2006)

Saya, dalam sebuah kesempatan mengajar di SMK Sabumi Pertambangan Banjarbaru pernah mengajukan pertanyaan mengenai Blok Cepu, “ Tahukah kalian tentang blok Cepu?”. Di luar dugaan saya, kelas tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Satu menit berlalu masih juga sama. “Wah gawat !”, pikir saya, anak pertambangan kok ndak pernah sedikitpun mendengar isu pertambangan yang sedang hot. Lha wong di “luaran” sana, mereka yang ga punya background pendidikan geologi atau pertambangan saja dengan gagah berani bicara tentang Blok Cepu, Freeport atau isu pertambangan lain, ini yang calon-calon ahli pertambangan masa depan kok ndenger saja tidak. Namun kemudian saya maklumi, pertama karena ada yang ngaku di kost-nya tidak ada TV apalagi koran. Terus yang punya TV? Ya... yang ditonton sinetron, dangdut, kartun, film laga atau buat main game. Kedua, mungkin siswa-siswa ini tidak mau pusing-pusing ngurusin hal-hal kayak itu. Akhirnya kemudian saya berikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya. Ah, paling tidak mereka sudah mulai tertarik. Selanjutnya dengan semangat saya menjawab pertanyaan mereka satu-per-satu. Kritis juga.

KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI
Menurut UU No. 22 tahun 2001 tanggal 23 November 2001 tentang migas, kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua : kegiatan hulu dan hilir. Kegiatan hulu meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, sedangkan kegiatan hilir meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga migas. Karena pokok pembicaraan kita terkait dengan blok Cepu, maka kita batasi bahasan ini pada lingkup kegiatan hulu yaitu eksplorasi dan eksploitasi migas. Kegiatan hulu migas dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi/ Usaha kecil dan Badan Usaha Swasta berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS). Di sini perlu ditegaskan kembali posisi pertamina sekarang. Dahulu sebelum UU No. 22 Tahun 2001 berlaku, ”Kuasa Pertambangan” migas di sektor hulu dipegang Pertamina, namun sekarang telah dikembalikan ke pemerintah. Adapun kegiatan hilir migas yang dulunya juga dimonopoli oleh Pertamina, sekarang telah dibuka secara bebas. Artinya Badan Usaha lain boleh bersaing. Bahkan saat ini di Jakarta telah ada POM Bensin-POM Bensin non pertamina, seperti punya Petronas Malaysia misalnya. Pada kegiatan hulu migas, pemerintah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang memiliki tugas menandatangani KKS dan mengawasi pelaksanaannya. Hal yang dulunya dipegang Pertamina. Untuk Peraturan Pemerintah terkait dengan hal ini bisa di-cek PP No. 42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 mengenai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan PP No. 35 Tahun 2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Adapun mengenai posisi Pertamina sekarang sesuai PP No. 31 Tahun 2003 tanggal 18 Juni 2003 tentang Pengalihan bentuk Pertamina menjadi Perusahaan Perseroan (Perseroan) adalah sebagai perusahaan (persero) milik negara yang sama-sama sebagai pelaku bisnis di sektor hulu maupun hilir bersaing dengan badan usaha lain. Singkatnya, Pertamina hanya sebagai pemain yang harus bersaing dengan badan usaha lain dan ia tidak lagi merangkap sebagai regulator. Fungsi regulator dikembalikan ke pemerintah. Saya kira cukup kenyang-lah Pertamina itu, selama kurun waktu 1970 sampai dengan 2001 merangkap sebagai pemain dan pengatur. Cuman, kekhawatiran saya satu, waktu merangkap saja kondisinya babak belur apalagi sekarang hanya sebagai pemain. You can imagine that...
Sebelum suatu badan usaha melakukan kegiatan di sektor hulu migas, pemerintah membuka peluang kerja sama atau KKS dengan persyaratan : (1) Kepemilikan SDA tetap ditangan Pemerintah sampai titik penyerahan, (2) Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana yang meliputi pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan serta pengawasan atas realisasi dari rencana tersebut; (3) Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap, dalam arti Pemerintah melalui Badan Pelaksana tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan investasi dan menanggung resiko finansial dalam pelaksanaan KKS. Persyaratan di atas masih ditambahkan lagi 14 prinsip KKS, yaitu : (a) Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) bertanggung jawab atas Manajemen Operasi; (b) Kontraktor melaksanakan operasi menurut Program Kerja Tahunan yang sudah disetujui BPMigas; (c) Kontraktor menyediakan seluruh dana dan teknologi yang dibutuhkan dalam operasi perminyakan; (d) Kontraktor menanggung biaya dan resiko operasi; (e) Kontraktor diizinkan mengadakan eksplorasi selama 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) tahun dan eksploitasi 20 (dua puluh) tahun atau lebih (jangka waktu kontrak 30 tahun); (f) Kontraktor akan menerima kembali seluruh biaya operasi setelah produksi komersial; (g) Produksi yang telah dikurangi biaya produksi, dibagi Pemerintah dan Kontraktor; (h) Kontraktor wajib menyisihkan/mengembalikan sebagian wilayah kerjanya kepada pemerintah; (i) Seluruh barang operasi/peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik pemerintah dan untuk yang diimpor setelah tiba di Indonesia; (j) Seluruh data yang didapatkan dalam operasi menjadi milik pemerintah; (k) Kontraktor adalah subjek PPh dan wajib menyetorkannya secara langsung kepada Negara; (l) Kontraktor wajib memenuhi sebagian kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri (Domestic Market Obligation) maksimum 25% dari bagian KKS; (m) Kontraktor wajib mengalihkan 10% interest-nya setelah produksi komersial kepada Perusahaan Swasta Nasional yang telah ditunjuk oleh Pemerintah; (n) Kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
Bila kita cermati dan kaji, sesungguhnya poin-poin persyaratan dan prinsip-prinsip kerjasama sangat menguntungkan bagi negara. Artinya, jika semua persyaratan dan prinsip-prinsip KKS tersebut dilaksanakan dengan baik dan konsisten, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran berlebihan misalnya negara dirugikan, kekayaan alam dikuras habis dll. Ada pertanyaan kritis, mengapa harus 30 tahun? Kenapa lama sekali? Bagaimana jika kontraktor merusak lingkungan?

KARAKTER INDUSTRI HULU MIGAS
Untuk dapat mengangkat migas dari dalam perut bumi ke permukaan bumi diperlukan proses yang panjang dengan resiko investasi yang tinggi. Investor harus berpikir ulang sebelum terjun di bisnis ini, paling tidak ia harus mengetahui terlebih dahulu karakter industri hulu migas yang antara lain : (1) Harus ada sumberdaya alam migas yang cukup besar; (2) Sumberdaya migas tidak dapat diperbaharui; (3) Biaya investasi dan operasi sangat tinggi; (4) Memerlukan teknologi tinggi (High Tech); (5) Resiko kegagalan tinggi; (6) Siklus kegiatan lama (puluhan tahun). Saya akan menyajikan tahapan kegiatan hulu migas dilihat dari sisi teknis dan bisnis. Tahapan pertama adalah tahap persiapan (Preparation Stage), dimulai dengan melakukan Pre-Study dan kemudian penandatanganan kontrak.. Tahap kedua adalah tahap eksplorasi (exploration stage) yang terdiri dari kegiatan survei geologi dan geofisika, evaluasi dan wildcat drilling atau pemboran untung-untungan atau pemboran taruhan. Setelah Ok, dilanjutkan tahap ketiga : tahap pengembangan (development stage) beupa development drilling (pemboran pengembangan), studi reservoir dan pembangunan fasilitas produksi. Selanjutnya adalah tahap terakhir yaitu tahap produksi (production stage) yang berupa operasi produksi, transportasi dan maintenance. Tahap kedua dan ketiga inilah yang disebut tahap eksploitasi. Menjawab pertanyaan kenapa harus 30 tahun? Ya karena memang tahapannya panjang. Sebagai ilustrasi, survei geofisika dan interpretasinya memerlukan waktu 2-3 tahun, pemboran eksplorasi 2-4 tahun, pemboran deliniasi 1-3 tahun dan pengembangan lapangan 2-5 tahun. Artinya paling tidak perlu waktu 8 tahun untuk eksplorasi saja, padahal eksplorasi merupakan tahap yang memerlukan investasi yang tinggi. Ya kalo reservoirnya positif terdapat migas, kalo tidak?
Dari sisi ini, jika kita sedikit berpikir lebih jernih, dengan resiko yang sedemikian besar tidak mungkin pemerintah menginvestasikan sendiri uangnya untuk kegiatan hulu migas, bahkan dalam KKS-pun dipersyaratkan pula bahwa pemerintah (BP Migas) tidak boleh mengeluarkan sepeserpun uang dalam pelaksanaan KKS. Jadi alternatif mengajak kerjasama dengan persyaratan dan prinsip-prinsip kerjasama seperti di atas merupakan hal ideal yang dapat dilakukan. Kita, masyarakat, dengan mekanisme yang ada tentu dapat melakukan pengawasan dan segera dapat melaporkan jika ada indikasi penyimpangan. Namun, perlu ditekankan agar tidak melihat pengelolaan sektor hulu migas – dalam hal ini Blok Cepu – dari sudut pandang yang hanya berdasar persepsi dan asumsi. Saat ini faktanya, telah ada Join Operating Agreement (JOA) yang akan mengelola Blok Cepu. Mari kita lihat komposisinya, bagian pemerintah pusat 85%, Exxon 6,75%, Pertamina 6,75% dan BUMD 1,5%. Komposisi ini secara tersirat menunjukkan jika Pemerintah Pusat, Pertamina dan BUMD dianggap sebagai pihak Indonsesia, maka total jendral Indonesia memperoleh bagian 93,25% sedangkan pihak asing (Exxon) Cuma 6,75%. Jika dikejar lagi dengan pertanyaan, kenapa ga pertamina saja ditunjuk sebagai kontraktor? Runyam deh, wong yang menemukan si Exxon masa’ ga dikasih bagian?. Bagaimana jika ternyata dalam pelaksanaan kerjasama ternyata merugi? Tidak perlu khawatir, pemerintah tidak akan rugi sedikitpun, karena memang semua resiko ditanggung kontraktor, dalam hal ini Exxon dan Pertamina. Namun jika untung, maka akan dibagi sesuai komposisi di atas, setelah dipotong dengan biaya operasional yang telah dikeluarkan kontraktor. Ini disebut Cost Recovery.
Untuk lingkungan? 30 tahun eksploitasi pasti lingkungan akan rusak! Ah, jangan berlebihan mas, pemboran darat untuk migas hanya perlu 2-3 hektar saja kok. Jangan bandingkan dengan Freeport atau tambang batubara. Akhirnya, jika masih ada yang berkeras menolak pengelolaan Blok Cepu. Mari kita dengarkan suara rakyat Bojonegoro, apakah mereka setuju atau tidak, mendukung atau tidak. Dan tentu jangan mengatakan mereka bodoh, yang jelas mereka berhak atas kekayaan alam mereka sendiri untuk kesejahteraan mereka. Mereka banyak yang terbelit kemiskinan, dan harapan akan segera berproduksinya minyak dari dalam bumi mereka sangat besar. Ah, saya perlu teman ekonom untuk menjelaskan multiplier effect – nya jika eksplorasi-eksploitasi berjalan. Mungkin kapan-kapan kita bisa berkunjung ke sana? Saya kasih sedikit bocoran, tanah kapur yang tipis, jalan aspal bergelombang, panas-gersang....


Didik Triwibowo
Geologist, Staf Distamben Prov. Kalsel
Email : d12k3w@yahoo.com

BENCANA DAN PEMBANGUNAN (ditulis 2006)

Banjir dan longsor yang merenggut nyawa kembali melanda Pulau Jawa, kali ini terjadi di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Kamis (20/4/06) dini hari. Bencana ini adalah yang terbesar yang pernah terjadi di Kabupaten lintas selatan Jatim. Hampir semua wilayah Kota Trenggalek terendam (Radar Banjarmasin, 21/4/06). Korban tewas dilaporkan mencapai 14 orang, 6 orang belum ditemukan dan Kota Trenggalek sempat menjadi kota mati karena sambungan listrik dan telepon terputus.
Bencana terjadi silih berganti di nusantara, dari ujung barat sampai timur, dari abrasi pantai sampai tsunami yang dahsyat, dari banjir kampung hingga banjir bandang, dari longsor kecil sampai yang luas, dari tanah retak hingga gunung berapi. Dibalik indahnya panorama negeri kita, tersimpan segudang potensi bencana. Pertanyaan Bung Ebiet G Ade, mengapa di tanahku terjadi bencana dalam lagu Berita kepada Kawan tentu patut direnungkan. Dan seharusnya tidak hanya cukup itu, perlu tindakan lebih konkrit agar jawaban kita kiranya bukan hanya retorika, namun berupa langkah nyata menghadapi bencana. Beberapa kali headline berita dan tulisan mengenai bencana dimuat di koran ini, cukup menggambarkan betapa kata ”bencana” begitu dekat dengan kita.
Mengapa bencana terjadi menjadi pertanyaan yang jamak setelah bencana terjadi, namun seringkali menjadi absurd kemana arah pertanyaan tersebut. Bukannys mencari pencerahan agar tidak ada lagi korban besar di masa mendatang tetapi seringkali pertanyaan itu hanyalah suatu ”kegelisahan” standar yang akhirnya berhenti setelah didapatkan jawaban pendek. Setelah itu? paling kita manggut-manggut dan berkata, ” O...oo begitu ya? dan selesai. Jika di masa mendatang terjadi lagi bencana yang sama, kita ajukan pertanyaan yang sama dan begitu didapat jawaban pendek, selesailah sudah. Akar masalah tidak pernah tersentuh apalagi terselesaikan. Terkadang justru kita tidak pernah tahu dan sepakat mengenai akar masalah kebencanaan, sehingga yang sering kita dapat lakukan adalah saling tuding satu pihak dengan pihak lain.

BAHAYA DAN BENCANA ALAM
Bahaya alam adalah suatu fenomena alamiah yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia. Sedangkan bencana alam adalah kejadian alam yang mengakibatkan kerugian bagi manusia. Badai di laut lepas jauh dari aktivitas manusia adalah bahaya alam, tetapi bukan bencana bagi kita karena tidak menimbulkan kerugian dan korban. Longsor di pegunungan di pedalaman hutan tetap dipandang sebagai bahaya alam sepanjang tidak menimbulkan kerugian. Lelehan lava pijar yang dimuntahkan gunung berapi bukanlah bencana jika tidak merugikan. Interaksi manusia dengan alam adalah termasuk interaksi kehidupannya terhadap bahaya. Longsor di lereng hutan yang semula hanyalah proses alami lereng biasa, akan menjadi bencana manakala terjadi perubahan tata guna lahan akibat berbagai aktivitas manusia. Longsor yang semula bersifat lokal berubah menjadi merata dan masif, sehingga berubah menjadi perusak yang mengerikan bersama dengan aliran banjir bandang.
Bencana tidak memilah-milih tempat kejadian. Sebagai salah satu fenomena alam, bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Faktor-faktor alami yang berbeda antara satu negara dengan negara lain berimplikasi pada perbedaan jenis dan karakter bencana yang mungkin terjadi. Namun bisa juga suatu negara dilanda satu jenis bencana yang sama dengan intensitas yang hampir sama tetapi korban yang ditimbulkan berbeda. Sebagai contoh adalah gempa di Bam, Iran dan di San Fransisco, USA hampir sama kekuatannya, namun korban yang tewas di Iran jauh lebih banyak. Kenapa? Ternyata banyak bangunan rumah di Bam, Iran banyak yang terbuat dari bata dan tanah liat sehingga tidak terlalu kuat saat getaran gempa terjadi. Adapun di San Fransisco bangunannya cukup kuat sehingga saat gempa melanda, masyarakatnya masih punya sedikit waktu untuk menyelamatkan diri sebelum tempat huniannya roboh. Di sini jelas bahwa, bahaya yang sama belum tentu mengakibatkan luka bencana yang sama. Mengenali jenis, karakter dan sebaran bahaya alam merupakan usaha untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak yang merugikan darinya. Disinilah urgensi manajemen bencana
Paling tidak ada 3 (tiga) aspek penting dalam kebencanaan. Pertama adalah bahaya, kedua aspek elemen apa saja yang beresiko dan terakhir yaitu tingkat kerentanan terhadap bahaya. Bahaya-bahaya alam yang dapat menyebabkan bencana dapat dikategorikan menjadi : (1) bahaya geologi seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor dan gerakan tanah, (2) bahaya iklim seperti badai tropis, banjir dan kekeringan serta (3) bahaya lingkungan misalnya polusi, kebakaran hutan, hilangya vegetasi, wabah hama dll. Adapun elemen-elemen yang beresiko mengalami kerugian akibat bahaya-bahaya di atas bisa manusia, infrastruktur, harta benda fisik, sosio-ekonomi, sumberdaya pertanian, peternakan dan perikanan dll. Tingkat kerentanan adalah tingkat kerugian yang akan diderita setiap elemen yang beresiko bila bahaya terjadi. Bangunan di bantaran sungai akan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi bila terjadi banjir dibandingkan di daerah tinggi. Bangunan dari bata dan tanah liat akan lebih rentan terhadap bahaya gempa dibanding bangunan yang dirancang tahan gempa. Desa yang dekat dengan puncak erupsi gunung berapi akan rentan terhadap bahaya awan panas dan lahar dibanding desa di kaki gunung.

PEMBANGUNAN
Tujuan dari pembangunan adalah terciptanya kemakmuran bagi seluruh warga negara. Pembangunan ekonomi harusnya dapat dirasakan merata oleh seluruh rakyat. Artinya kemiskinan harus direduksi secara konsisten dengan pembangunan. Kenapa? Karena biasanya mereka yang rentan terhadap bahaya adalah mereka yang miskin secara ekonomi. Bagaimana mereka membangun rumah tahan gempa jika untuk makan saja sudah sangat sulit? Bagaimana kita meminta mereka meninggalkan rumahnya di bantaran sungai jika dalam kesehariannya mereka tergantung terhadap sungai? Sedangkan kita (baca : pemerintah) tidak mampu menyediakan sarana air bersih yang layak. Kemampuan ekonomi masyarakat yang cukup tangguh akan memperkuat kemampuan masyarakat untuk melindungi diri dan harta benda mereka sendiri dari bahaya-bahaya alam.
Pembangunan juga harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bahaya-bahaya alam. Bahaya-bahaya alam tidak bisa dicegah karena memang itu tidak mungkin. Hal realistis yang bisa dilakukan adalah memasukkan pertimbangan bahaya dalam setiap program pembangunan. Pemerintah Jepang mengalokasikan dana lebih dari 2 miliar US dollar setiap tahun untuk mitigasi dan kesiapan bencana. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari jumlah keuntungan pemerintahan dari separuh bangsa-bangsa di dunia. Pemerintah kita tentu tidak harus membelanjakan uang sebanyak itu untuk menghadapi bencana. Melakukan pencegahan kebocoran dana-dana pembangunan setiap tahun sudah cukup membantu. Tidak perlu diceritakan rekor kebocoran dana pembangunan kita tiap tahun, pun juga tidak perlu dijelaskan seberapa besar prosentase proyek-proyek pembangunan yang tidak sesuai bestek-nya. Contoh sederhana adalah jalan. Bagaimana bisa berlangsung proses evakuasi yang cepat jika jalan untuk jalur evakuasi rusak berat? Salah-salah selamat dari bahaya alam dan justeru tidak selamat karena waku dievakuasi terjadi kecelakaan karena jalannya berlubang besar. Mungkin saja waktu proyek pembangunan jalan kualitasnya dikurangi atau saluran airnya tidak dibuat. Kenapa? Bisa saja anggaran telah disunat sana-sini.
Kebijakan pembangunan yang salah juga dapat menimbulkan masalah. Misalnya suatu kawasan resapan air (recharge area) dijadikan kawasan pembangunan villa-villa mewah, sehingga seiring berjalannya waktu, tingkat aliran permukaan semakin tinggi, akibatnya di dataran rendah terjadi banjir dalam skala luas. Ada juga pengusaha dengan ijin penguasa pengin mendapat untung sebesar-besarnya, mereka membangun perumahan di kawasan yang rawan longsor dan gerakan tanah, dan hal ini tidak dijelaskan kepada konsumen. Akibatnya rumah-rumah tersebut retak-retak dan rusak berat karena tanah di bawahnya bergerak. Dalam era otonomi, banyak kebijakan yang dianggap hanya mengejar target PAD saja tanpa menimbang dan menghitung potensi bahaya lingkungan. Misalnya di sektor pertambangan, kehutanan maupun perkebunan. PAD mungkin saja bertambah secara signifikan, namun jika bahaya lingkungan semacam kekeringan, banjir, maupun desertifikasi menjadi semakin sering, ya hasil akhirnya tidak baik. Memang bahaya ini tidak akan dirasakan sekarang, namun suatu saat akan terjadi. Tegakah kita membiarkan keturunan kita menderita kelak?
Jelas di sini betapa ternyata ada hubungan antara pembangunan dan bencana. Pembangunan yang benar dapat secara nyata mereduksi kerentanan masyarakat terhadap bahaya alam, namun kebijakan yang salah akan dapat meningkatkan potensi resiko kerugian akibat bahaya alam.
Indonesia ternyata tidak sendirian dalam menghadapi bencana alam. Tahun 1990-an ditetapkan sebagai Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam oleh PBB. Tujuannya adalah mengurangi kematian, kerusakan harta benda dan gangguan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh bencana alam. Dalam resolusi ini, pemerintah di semua negara diminta memformulasikan program-program mitigasi bencana nasional dengan menggabungkan cakupan ekonomi, pemanfaatan lahan dan kebijakan lain ke dalam program-program pembangunan nasional. Proyek-proyek yang didanai oleh UNDP (United Nation Development Program) juga dipastikan untuk dapat mendorong negara-negara di dunia untuk membuat kesiapan bencana sebagai bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima bantuan ini. Bahkan Indonesia mendapat perhatian dan bantuan luar biasa dari PBB dan komunitas internasional pasca terjadinya tsunami Aceh. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah ini mengimplementasikannya. Hanya saja saya kok ragu ya, kalau semua dana bantuan benar-benar digunakan untuk merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh. Saya cuma yakin suatu saat akan ketangkep juga orang-orang yang menilep dana bantuan, mereka yang tega memancing di air keruh. Ah semoga tidak.

Didik Triwibowo
Geologist, Staf Distamben Prov Kalsel
Email : d12k3w@yahoo.com

ASAP, KEKERINGAN DAN KEMISKINAN

Kebakaran hutan dan asap hampir telah menjadi siklus tahunan yang harus ”dinikmati” Indonesia dan bahkan negara tetangga. Ekspor asap Indonesia ke Singapura bahkan memunculkan protes keras negeri itu hingga dibawa ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tentu saja protes ini juga ditanggapi balik dengan keras juga oleh Indonesia karena protes tersebut mempermalukan nama Indonesia yang secara eksplisit dianggap tidak becus menangani asap. Protes balik Indonesia semakin seru karena Indonesia menganggap yang membakar hutan-hutan di Sumatera merupakan cukong-cukong asal negeri singa tersebut. Bahkan Singapura dituding menjadi tempat pelarian yang aman bagi penjahat-penjahat lingkungan yang salah satunya “memakan” hijaunya hutan di Indonesia baik melalui illegal logging maupun perluasan areal perkebunan dengan cara membakar lahan. Asap selain merugikan kesehatan dan ekonomi, ternyata memiliki nilai politis tinggi di tingkat regional.
Memang Indonesia pantas marah, namun juga tidak usah terlalu boros energi dalam membela diri, karena memang faktanya kita selalu saja tidak berdaya menghadapi produksi asap dari kebakaran hutan, tiap tahun. Selalu faktor alam yang dijadikan kambing hitam terbakarnya hutan dan munculnya asap, namun lucunya faktor alam juga-lah (hujan) yang diharapkan untuk memadamkan kebakaran hutan dan menghentikan produksi asap. Padahal, karakteristik alam dan proses-prosesnya dapat dipelajari, musim kemarau dan penghujan sudah sangat tepat diperkirakan datangnya, namun mengapa selalu tidak siap?
Datangnya pesawat amfibi Rusia yang disewa Pemerintah Indonesia untuk memadamkan kebakaran hutan bisa dipandang dari dua sisi. Pertama, mungkin pemerintah malu disebut tidak becus menangani asap oleh negara tetangga atau memang pemerintah benar-benar berkomitmen kuat memerangi asap. Pandangan pertama seakan mendapat pembenaran karena pemerintah baru kalang kabut setelah negara tetangga protes, padahal sebelumnya tenang-tenang saja meskipun rakyatnya sudah “sesak nafas” karena asap. Lebih parah lagi, proses pemadaman dengan pesawat sewaan ini baru dilaksanakan di saat mulai memasuki musim hujan. Kenapa tidak dari awal?
Tentu saja, menyewa pesawat pemadam saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan asap ini secara menyeluruh. Persoalan asap tidak hanya berhenti pada padamnya api saja, namun juga terkait dengan tidak tegaknya hukum dalam usaha menyeret penjahat-penjahat lingkungan ke muka pengadilan. Mereka yang membabat hutan secara rakus dan menjadikannya lahan alang-alang yang mudah terbakar atau mereka yang membakar lahan untuk perkebunan dengan alasan efisiensi, tidak pernah diseret ke muka pengadilan apalagi dihukum berat.
Rentetan bencana yang melanda negara ini, khususnya Kalimantan, ternyata tidak melulu faktor alam yang menjadi penyebabnya. Banyak bencana yang justru semakin meningkat intensitas maupun sebarannya karena adanya intervensi (baca : perusakan) alam oleh manusia. Ambil contoh bencana yang terjadi di Kalsel yang berkaitan dengan hidrologi, yaitu banjir pertengahan tahun ini, pendangkalan muara Sungai Barito, kekeringan dan kesulitan air bersih. Semua bencana di atas sebenarnya disebabkan adanya ketimpangan dalam siklus hidrologi. Siklus ini merupakan rangkaian proses perjalanan air mulai daratan menuju laut kemudian ke atmosfer melalui evaporasi dan akhirnya kembali lagi ke daratan sebagai hujan. Sebagian air hujan akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan sebagian lagi akan mengalir di permukaan (run off) menuju daerah yang lebih rendah melalui sungai. Jika terjadi perubahan fungsi lahan seperti misalnya dari hutan lebat menjadi padang alang-alang, maka saat terjadi hujan yang akan terjadi adalah jumlah run off menjadi jauh lebih besar dibandingkan infiltrasi. Akibatnya permukaan sungai akan meluap, terjadilah banjir.
Sementara, saat memasuki musim kemarau, air hujan yang tersimpan melalui proses infiltrasi tidak terlalu banyak, sehingga suplai air ke sungai-sungai menjadi sangat kecil, akibatnya debit air sungai berkurang drastis. Sungai yang memiliki perbedaan debit yang sangat kontras antara musim penghujan dan kemarau menunjukkan bahwa telah Daerah Aliran Sungai (DAS) nya telah kritis atau rusak. Fenomena pendangkalan di muara Sungai Barito sebenarnya merupakan pertanda tidak sehatnya DAS Sungai Barito karena menunjukkan tingkat erosi yang tinggi di bagian hulunya. Rusaknya DAS bisa disebabkan banyak faktor, namun utamanya adalah faktor manusia yang mengekspolitasi sumberdaya di dalam wilayah DAS, baik sektor kehutanan, pertambangan maupun pertanian dan perkebunan.
Dampak kekeringan terparah adalah semakin sulitnya masyarakat mengakses air bersih. Air merupakan komponen vital dalam kehidupan manusia sehingga apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya. Di negara ini, hampir 100 juta orang belum mendapatkan pelayanan air minum yang layak. Buruknya akses untuk mendapatkan sumber-sumber air merupakan kendala terbesar dalam mengurangi kemiskinan. Bagaimana tidak, jika air sulit diperoleh, maka air akan menjadi barang berharga yang bernilai ekonomi. Artinya, untuk mendapatkannya masyarakat harus merogoh koceknya yang tidak tebal. Padahal, beban hidup sehari-hari sudah cukup mencekik. Belum lagi masyarakat harus mengorbankan tenaga dan waktunya untuk mengantri air bersih.
Miskin akses terhadap air bersih merupakan salah satu dari 3 aspek lingkaran setan kemiskinan yang saling terkait, yaitu : miskin penghasilan (poverty of money) , miskin akses (poverty of access), miskin kekuatan (poverty of power). Orang yang tidak memiliki cukup uang akan tersisih dalam kompetisi ekonomi yang kejam. Mereka tidak mampu membeli rumah yang layak sehingga menempati lokasi-lokasi marginal seperti di bantaran sungai atau tepi rel kereta api. Mereka mendirikan pemukiman kumuh di tempat tersebut karena tidak memiliki cukup uang membangun bangunan layak. Sebagian besar rumah yang dibangun tidak berijin alias ilegal. Akses terhadap air bersih, listrik, pembuangan sampah dll sangat minimal atau tidak ada. Sanitasi buruk. Kesehatan jiwa raga juga buruk. Mereka tidak cukup memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan hidupnya.
Potret kemiskinan di Indonesia tercermin dari rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia atau Human Development Index (HDI). angka /Human Development Index/ (HDI) Indonesia tahun 2004 adalah 0,692. Dengan angka indeks tersebut, Indonesia berada di urutan ke-111 dari 177 negara di dunia. Kemiskinan yang perlu segera dihilangkan adalah kemiskinan absolut. Seseorang yang terbelit kemiskinan absolut adalah orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses segala kebutuhan pokok hidupnya.
Menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk segera menghapus kemiskinan dari negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan konsisten dan berkelanjutan. Namun, benarkah pemerintah telah sepenuhnya melaksanakannya? Atau justru malah menggunakan isu kemiskinan untuk kepentingan politik atau golongannya sendiri? Beberapa bulan lalu sempat ramai diperdebatkan mengenai data statistik kemiskinan dalam pidato presiden. Satu pihak mengklaim –berdasar statistik- telah berhasil mengurangi angka kemiskinan, namun pihak lain meragukan data yang dipakai. Mereka tidak ingat bahwa data di Indonesia sesungguhnya dapat dibuat sesuai pesanan. Terlepas dari perdebatan tentang statistik kemiskinan ini, pokok masalahnya justru terabaikan. Di lapangan tentunya sangat mudah menjumpai : pengemis, gelandangan, orgil, pemukiman kumuh, busung lapar, anak-anak tak bersekolah dll. Ini kan potret nyata bahwa kemiskinan masih bercokol? Daripada berdebat tentang angka-angka, mengapa tidak menyusun program pengentasan kemiskinan yang terpadu dan berkelanjutan?
Akhirnya, mari kita sadari bahwa, adalah hak rakyat untuk terbebas dari kemiskinan dengan memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau dan mendapatkan akses atas kebutuhan sanitasi kesehatan. Rakyat telah memberikan amanat kepada pemimpinnya (baca : pemerintah) untuk menjamin hak tersebut terpenuhi.
Didik Triwibowo
Geologist, Staf Distamben Prov Kalsel
Email : d12k3w@yahoo.com

AKANKAH BENCANA TERUS BERLANJUT? (2006)

Awal tahun 2006, saat sebagian besar manusia di dunia bersuka cita menyambutnya, di sebagian wilayah Indonesia, justru harus menjalani awal tahun ini dengan duka cita. Minggu malam (1/1/2005), banjir bandang menyapu desa-desa di Kecamatan Panti dan Rambipuji, Jember, Jawa Timur. Banjir bandang dimana air bercampur lumpur dan bongkahan batu bergerak turun menyapu daerah-daerah rendah dalam kecepatan tinggi ini dalam istilah geologi dikenal sebagai debris flow. Kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana jenis ini bisa sangat mengerikan, seperti little tsunami darat. Tayangan media televisi dan foto-foto di koran-koran menunjukkan betapa massifnya kerusakan yang ditimbulkannya. Batu-batu besar, pohon-pohon, jalan, rumah, jembatan seakan tidak berdaya apa-apa di hadapan air, dihanyutkan, ditabrakkan dan dilemparkan begitu saja. Bisa kita bayangkan bagaimana jika air semacam ini menghantam tubuh ringkih manusia, badan kita.
Akhir tahun sebelumnya kita baru saja mengenang setahun terjadinya tsunami dahsyat di Aceh dan Sumatera Utara, sekarang bencana itu datang lagi di wilayah lain dalam wajah berbeda namun menghasilkan duka yang sama. Dan, lebih menyesakkan lagi bagi penulis, belum selesai tulisan ini dibuat, bencana yang lebih besar lagi terjadi di Banjarnegara pada Rabu (4/1/2005), bencana tanah longsor (= landslide) menimbun ratusan rumah penduduk dan mengubur hidup-hidup penghuni di dalamnya. Benarkah bencana ini hanya sebuah awal dan akan benar-benar berlanjut selama 2006? Setiap kali terjadi bencana alam, setiap itu pula penulis tergerak untuk menulis mengenai segala aspek bencana tersebut agar setiap orang bisa sedikit memberi perhatian terhadap ancaman bencana yang mungkin tersimpan di sekitar lingkungan kita. Jika perhatian sudah diberikan, tentu akan muncul kewaspadaan untuk mengantisipasinya, dan selanjutnya tragedi, musibah karena bencana alam tidak memakan korban – karena kekuatan alam tidak bisa dilawan. Pengalaman pribadi penulis bersentuhan langsung dengan bencana alam terutama tanah longsor terjadi sewaktu menjadi anggota Tim Studi Bencana Alam Tanah Longsor UGM, melihat sendiri jenazah digali dari timbunan lumpur tebal seminggu setelah tanah longsor menimbun rumah-rumah di Desa Windusakti, Kecamatan Salem, Brebes, Jawa Tengah akhir tahun 2000. Menyedihkan. Dan paradoks-pun ternyata terjadi. Justru karena tragedi tadi terjadi, penulis bisa lulus Sarjana Geologi dengan menjadikan musibah longsoran di Windusakti sebagai studi kasus untuk skripsi. Namun sungguh, tidak ada seorangpun yang ingin bencana tersebut terulang lagi. Tidak bagi saya, anda dan siapapun bahkan dalam mimpi kita sekalipun. Namun, 6 tahun kemudian, tahun ini, bencana yang sama kembali menyapu di tempat lain. Dua kasus bencana alam – di Jember dan Banjarnegara – terjadi pada waktu yang sama, dengan karakteristik lereng yang hampir sama, namun sedikit berbeda bentuknya.

BANJIR BANDANG JEMBER
Curah hujan yang tinggi dan gundulnya lereng Pegunungan Argopura Jember dituding sebagai penyebab terjadinya musibah banjir bandang di jember. Memang, ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya musibah tersebut, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud antara lain : karakteristik geologi (material geologis penyusun lereng (batuan/ rocks atau tanah/ soil), topografi dan struktur geologi), hidrologi lereng dan kondisi lereng (berhutan lebat, gundul, ditanami tanaman, banyak bangunan perumahan, persawahan dll). Adapun faktor eksternal antara lain : iklim, hujan dan hasil aktivitas manusia. Sulit menentukan apakah faktor eksternal atau internal yang paling dominan sebagai penyebab, lebih mudah untuk menyimpulkan bahwa masing-masing faktor saling terkait dan bekerja-sama menyebabkan terjadinya musibah banjir bandang.
Lereng-lereng sepanjang selatan Jawa merupakan lereng dari pegunungan vulkanik yang memiliki tanah tebal nan subur. Rangkaian gunung-gunung ini merupakan hasil proses subduksi lempeng Samudera Hindia ke dalam lempeng Eurasia yang berada di selatan Jawa. Zona subduksi ini sebenarnya memanjang mulai dari sebelah selatan Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Gerakan lempeng ini masih aktif hingga saat ini. Salah satu akibatnya adalah gempa tektonik baik yang memicu tsunami ataupun tidak. Adapun proses tumbukan antar lempeng ini dalam jangka panjang membentuk pegunungan di lempeng Eurasia atau di utara zona subduksi. Semua gunung dalam status aktif meskipun tidak menunjukkan aktivitas vulkanik. Istilahnya masih tidur. Lereng-lereng pada zona inilah tempat terjadinya musibah banjir bandang di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara. Material penyusun lereng dari deposit vulkanik semacam ini menurut penelitian Sarosa (1992) dan Karnawati (1996) paling banyak terjadi tanah longsor (landslide).
Faktor penyebab internal selanjutnya adalah hidrologi lereng dan kondisi permukaan lereng. Hidrologi lereng dipengaruhi oleh curah hujan yang turun, material penyusun lereng, bentuk lereng dan ada tidaknya vegetasi penutup. Hidrologi lereng mencakup proses aliran permukaan dan bawah permukaan. Aliran bawah permukaan terjadi saat air hujan masuk ke dalam lereng melalui proses infiltrasi yang kemudian meningkatkan kandungan air, kenaikan muka air tanah, horison permeabilitas dan konduktivitas hidrolika. Aliran permukaan terjadi jika tidak ada infiltrasi ke dalam lereng baik karena lereng telah jenuh air, tiadanya vegetasi penutup atau curah hujan dan durasi yang turun sangat tinggi. Adapun topografi lereng berperan terutama pada proses hidrologi dan kestabilan lereng. Lereng-lereng yang curam – untuk material penyusun sama – akan kurang stabil dibandingkan dengan lereng landai.
Faktor eksternal penyebab terjadinya musibah banjir bandang ini adalah iklim, hujan, dan adanya aktivitas manusia. Iklim tropik basah mempercepat proes pelapukan pada lereng-lereng batuan vulkanik sehingga menghasilkan soil/tanah yang tebal dan subur di permukaan lereng. Batuan-batuan yang mulanya massif dan kompak dengan cepat terisi air pada rekahan-rekahannya yang memicu terjadinya proses fisika dan kimia dalam batuan yang akhirnya terbentuk tanah hasil pelapukan. Aktivitas manusia pada lereng, baik di bawah, di punggung dan di puncak lereng berakibat langsung maupun tidak pada percepatan terjadinya banjir bandang ini. Pengaruh aktivitas manusia dapat mengurangi kemampuan infiltrasi lereng, meningkatkan aliran permukaan, merubah struktur tanah, dan menaikkan tegangan geser pada lereng.
Di lihat dari besarnya aliran air dan banyaknya material yang terbawa banjir seperti batang-batang pohon, batu-batu besar, kerikil, lumpur yang campur aduk (debris) menandakan area lereng di hulu yang longsor meliputi daerah yang luas. Lereng-lereng yang longsor ini bercampur dengan besarnya aliran permukaan – karena curah hujan yang tinggi – mengalir ke bawah dengan kecepatan tinggi dan bersatu ke lembah-lembah sungai yang lebih besar dan pada sungai utama akan terjadi akumulasi aliran air dan material yang memiliki daya rusak luar biasa. Kita bisa saksikan dari banyaknya lumpur, batu-batu dan batang-batang pohon terendapkan di lembah sungai yang menjadi semakin lebar. Daya rusak aliran campur aduk ini yang juga memutus jembatan sehingga sebagian warga di Kecamatan Panti terisolasi selama beberapa hari.

TANAH LONGSOR BANJARNEGARA
Kondisi alam di lokasi bencana tanah longsor sama dengan lokasi banjir bandang di Jember, merupakan lereng pegunungan vulkanik yang memanjang di bagian selatan Jawa. Lereng-lereng curam dengan tanah tebal dan subur pada lerengnya. Yang sedikit membedakan adalah, bencana tanah longsor ini berasal dari lereng Gunung Pinihan dalam skala yang sangat besar dan langsung menimbun perkampungan warga di bawahnya. Artinya, perkampungan di desa yang terkena bencana (Desa Sijeruk) berada lebih di bagian hulu dibandingkan dengan kasus banjir bandang Jember, namun skala longsoran jauh lebih besar sehingga langsung memiliki daya rusak yang luar biasa. Adapun di Jember, longsoran-longsoran terjadi pada bagian hulu dalam skala lebih kecil namun meliputi areal yang sangat luas dan baru memiliki daya rusak setelah menyatu di sungai utama.
Kasus-kasus tanah longsor (landslide) di Jawa dan Sumatera dipicu (triggered) oleh air hujan. Secara alami lereng-lereng pegunungan di Sumatera dan Jawa memang memiliki cacat bawaan yaitu cenderung untuk longsor, sehingga dengan sedikit pemicu (hujan) longsor akan terjadi. Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan pada lereng diklasifikasikan menjadi dua: (1) faktor yang menyebabkan naiknya tegangan dalam lereng dan (2) faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan kekuatan lereng. Kedua klasifikasi di atas dikontrol oleh : kondisi lereng, iklim (curah hujan), material penyusun lereng, hidrologi lereng dan faktor lain. Lereng vulkanik curam (500 – 600) seperti yang kedua daerah terjadinya musibah di atas, umum untuk terjadi longsoran tipe debris slides dimana material lereng yang lapuk dan batu-batuan longsor ke bawah bersama air yang terkandung dalam lereng.
Lereng-lereng pegunungan, karena gravitasi, selalu berkecenderungan untuk bergerak ke bawah guna mencapai kestabilan baru sesuai kondisi saat itu. Artinya jika terjadi perubahan kondisi baik karena faktor alami maupun karena aktivitas manusia, selalu akan direspon lereng untuk mencapai kesetimbangannya lagi. Lereng-lereng yang dulu diklasifikasikan merah atau bahaya, sebagian telah longsor dan setelah itu saat ini dalam kondisi stabil, namun perlu diwaspadai daerah merah yang sampai saat ini belum longsor. Selanjutnya, lereng yang dulunya masih belum diklasifikasikan merah bisa jadi saat ini telah masuk dalam kategori bahaya. Daerah-daerah mana saja yang saat ini termasuk daerah bahaya longsor sebenarnya sudah diketahui dan dipetakan. Jadi yang perlu diintensifkan adalah mensosialisasikan daerah-daerah tersebut kepada masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kewaspadaan untuk mengantisipasinya.
Diperlukan kebijakan dalam menata daerah rawan longsor seperti ini, karena umumnya daerah ini sangat subur, dan sangat tidak mungkin memaksa masyarakat untuk pindah dari sumber penghidupannya. Namun, belajar dari kasus longsoran di Kecamatan Salem tahun 2000, saat ini mereka telah memiliki kewaspadaan terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat sementara menyingkir dulu ke lokasi yang lebih aman saat melihat tanda-tanda bencana akan datang, diantaranya hujan yang tinggi dan terus menerus, terjadi retakan-retakan di atas lereng, adanya rembesan di bawah lereng dll. Ternyata mereka berhasil selamat dari musibah, meskipun harus merelakan rumahnya tertimbun. Tanda-tanda semacam inilah yang harus terus disosialisasikan, diingatkan berulang-ulang sehingga jangan sampai terjadi musibah dulu baru kemudian kita belajar.

Wednesday, July 15, 2009

PERSPEKTIF BARU PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Ada suatu kekeliruan umum yang biasanya muncul di benak kita mengenai kekayaan sumberdaya alam pertambangan dan energi, yaitu menganggap bahwa kekayaan alam pertambangan dan energi hanya sebatas mineral dan energi konvensional saja dan melupakan potensi pertambangan dan energi dari sumberdaya alternatif. Kekeliruan lainnya adalah pandangan bahwa daerah-daerah yang tidak ada sumberdaya mineral dan energi dan sepi dengan aktivitas pertambangan selalu susah berkembang secara ekonomi. Semua kekeliruan ini semestinya dihilangkan dari alam pikiran kita.
Daerah-daerah seperti HSU dan Batola di Kalimantan Selatan memang saat ini merupakan daerah yang sepi dari aktivitas pertambangan mineral dan energi seperti mineral dan batubara, namun ternyata menyimpan juga potensi pertambangan dan energi yang sebelumnya bahkan mungkin tidak pernah terlintas di pikiran. Sebagai contoh adalah potensi coalbed methane, energi surya, sampah organik tumbuhan, dan bahkan kotoran ternak.
Tulisan ini selain mengulas betapa pentingnya pendekatan kreatif dan berpikir “out of box” serta jeli dalam melihat segala macam potensi sumberdaya mineral dan energi non konvensional (termasuk sampah sekalipun) agar dapat diolah dan dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pertambangan dan Energi Kalsel
Di Kalsel, potensi sumberdaya mineral dan energi yang signifikan adalah batubara dan coalbed methane. Cadangan batubara Kalsel merupakan yang ketiga terbesar di Indonesia setelah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, namun produksi batubara Kalsel adalah yang terbesar. Potensi sumberdaya coalbed methane (CBM) Kalsel, yang mulanya tidak diketahui publik, ternyata merupakan yang terbesar di Indonesia yaitu sebesar 101 TCF.
Khusus untuk energi, dengan melimpahnya batubara (yang sudah dieksploitasi) maupun CBM (baru eksplorasi) harapan kita tentu adanya ketersediaan listrik yang cukup. Namun apa daya, faktanya Kalsel dan Kalteng masih defisit listrik. Syukurnya, mulai tahun ini mulai dibangun unit baru PLTU 2x65 MW sehingga masalah defisit listrik diharapkan dapat teratasi. Perusahaan pertambangan dan energi yang beroperasi di Kalsel didominasi oleh perusahaan. Apakah kita kurang kreatif? Boleh jadi, karena kita hanya sebatas mengekspor batubara (meski menguntungkan di awal) dan bukannya memproduksi listrik dari batubara (meski sulit di awal), padahal ketersediaan listrik yang cukup adalah prasyarat kemajuan suatu daerah/bangsa.
Perspektif Baru
Secara faktual, tidak semua daerah di Kalsel mengandung sumberdaya mineral dan energi konvensional maka untuk itulah perlu melihat potensi sumberdaya mineral dan energi alternatif. Selain itu, merujuk pernyataan di awal tulisan ini, bahwa sumberdaya pertambangan energi tidaklah hanya terbatas sumberdaya mineral dan energi yang konvensional saja, namun juga mencakup sumberdaya alternatif seperti: surya, biomassa, biogas, dan air tanah. Potensi sumberdaya alam ini tentu jika dapat dikelola dengan baik akan menjadi modal pembangunan yang sangat penting yang dapat berperan dalam menggerakkan perekonomian daerah dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Paradigma yang mesti ditumbuh-kembangkan adalah mengenal dan mengetahui karakteristik sumberdaya pertambangan dan energi yang dimiliki suatu daerah dan berpikir kreatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya diluar pemanfaatan yang sudah umum. Sebagai contoh adalah pemanfaatan kotoran ternak (sapi, kerbau). Sudah lazim kita memanfaatkannya sebagai pupuk kandang dan sumber biogas untuk keperluan rumah tangga, namun ternyata ada manfaat tersembunyi lain dari kotoran ternak ini yang mungkin belum terlintas di pikiran kita yaitu sebagai bahan baku bata! Ide memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan bata berkualitas tinggi dan ramah lingkungan ini dikenal dengan brand EcoFaeBrick dikembangkan oleh tim kreatif anak negeri yang akhirnya memenangkan kompetisi Internasional Global Social Venture Competition (GSVC) 2009 di Amerika Serikat. Juri dalam kompetisi tersebut mengakui bahwa ide ini menghasilkan profit usaha, menjaga kelestarian lingkungan, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Potensi biomassa yang sangat besar untuk membangkitkan listrik juga dapat dengan mudah ditemukan di Kalsel, misalnya enceng gondok yang hidup di danau-danau dan perairan HSU atau bahan organik kelapa (sabut, daun dll) di HSS dan Batola. Tidak perlulah kita berpikir muluk memproduksi listrik besar-besaran dari biomassa, cukup untuk skala rumah tangga atau kampung. Hal ini akan menunjang kemandirian bidang energi dimana semua kebutuhan energi rumah tangga baik untuk listrik ataupun memasak dapat tercukupi dengan sumberdaya energi non konvensional: biomassa, tenaga surya, dan biogas. Saat ini pola hidup masyarakat yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal menjadi pondasi kuat bai pembangunan manusia secara berkelanjutan.
Paradigma yang memandang bahwa sumberdaya mineral dan energi hanyalah batubara dan migas dan pandangan bahwa daerah yang miskin sumberdaya mineral dan energi selalu sulit berkembang secara ekonomi harus dihilangkan. Setelah paradigma tersebut dapat dikikis, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi seluruh potensi daerah yang ada baik yang kasat mata atau yang tersembunyi dan kemudian secara kreatif dan dengan pola pikir “thinking out of box” mengidentifikasi semua kemungkinan lain pemanfaatan sumberdaya pertambangan dan energi tadi agar bernilai ekonomis dan bermanfaat luas bagi masyarakat. Beranikah kita mencoba?

MEMBANGUN INDUSTRI PERTAMBANGAN KREATIF KALSEL

Jika kita berbicara pertambangan Kalsel, maka kita selalu merujuk pada pertambangan batubara, padahal industri pertambangan batubara sedikit (jika tidak ingin dikatakan tidak ada) unsur kreatifnya. Proses penambangan batubara adalah proses kegiatan penggalian biasa, hanya saja karena skala penggalian yang luas maka perlu manusia, teknologi, finansial, dan manajemen yang kompleks. Nilai tambah produk seperti nilai kalori, kadar sulfur dan ash, kandungan air, hampir seluruhnya ditentukan oleh kreasi alamiahnya, bukan karena campur tangan manusia. Unsur kreatif industri batubara sampai saat ini adalah terbatas mencampur batubara (blending) kualitas berbeda untuk mendapatkan produk batubara dengan spesifikasi tertentu. Ada juga proses meng-up grade batubara muda (low rank coal) agar menjadi lebih baik kualitasnya dan dapat diterima pasar. Karena semua bergantung belas kasih alam, manakala yang diberikan alam yaitu cadangan batubara ini habis semua, maka tamatlah industri tambang batubara ini. Sebaliknya, industri pertambangan kreatif yang mengutamakan proses kreatif manusia, selama manusia ada dan mau, maka produk industri ini akan selalu hadir, dengan ciri produk yang selalu berkembang dan berubah dengan dinamis.
Yang dimaksud dengan pertambangan kreatif di sini adalah usaha pertambangan yang mengutamakan peran kreatif manusia untuk menghasilkan produk pertambangan. Di Kalsel, banyak potensi dan peluang untuk membangun industri pertambangan kreatif dimana salah satunya adalah kerajinan permata dan batu mulia (gemstone). Industri ini sebenarnya telah tumbuh dan bahkan sebuah kota di Kab Banjar, Martapura, telah menjadi ikon permata dan batumulia di Kalsel, dan bahkan dikenal secara naional dan internasional. Pertanyaannya, sejauh mana dan seserius apa pemprov dan pemkab/pemkot menggarap sektor pertambangan kreatif ini? Apakah sektor ini hanya dipandang sebelah mata? Mengapa “kreatif” jauh lebih penting ketimbang bahan baku?

KREATIF VS BAHAN BAKU
Ada sudut pandang dari banyak orang yang kurang tepat dimana memandang bahan baku yang berkualitas adalah segala-galanya dan menafikan kreatifitas. Beberapa waktu lalu, saya diminta mendampingi seorang wisatawan Spanyol yang juga pedagang perhiasan kawasan Eropa untuk bertemu dengan pemilik toko permata, Zamrud Plaza, di Martapura. Dia menginginkan kerjasama penjualan produk-produk perhiasan (jewelries) dan intan (diamond) dari Martapura untuk dipasarkan ke seluruh dunia. Ketika saya tanya apakah produk-produk yang dipajang di toko Zamrud Plaza memiliki nilai jual yang tinggi di pasar Eropa, dia dengan semangat mengatakan iya, sangat potensial. Akhirnya terjadilah kesepakatan kerjasama pemasaran perhiasan produk Zamrud Plaza di pasar internasional.
Hal yang menarik adalah, masih terbersit keraguan dari pengusaha kita di Martapura akan kualitas produk perhiasan asal martapura selain intan/permata dari Cempaka. Pengusaha tadi menerangkan kepada saya mengapa dirinya tidak PeDe menawarkan produk-produk perhiasan batu mulia dan hanya fokus pada penjualan intan/permata. Alasannya adalah tidak semua produk perhiasan menggunakan bahan mentah batu mulia asli Kalsel, bahkan ada yang impor, jadi menurutnya tidak layak disebut sebagai kerajinan perhiasan khas Martapura. Saya meresponnya dengan memberikan analogi fakta yang terjadi saat ini yaitu adanya produk-produk coklat berkualitas dari Swiss. Di Swiss tidak ada kebun coklat, semua coklat diimpor dari negara lain, dan mungkin sedikit yang tahu bahwa coklat-coklat kita dari Sulawesi diekspor ke sana. Namun, jika orang berbicara coklat maka yang disebut adalah Swiss dan bukan Sulawesinya sebagai pemasok bahan baku coklat! Dengan demikian, tidak perlu terlalu pusing darimana asal bahan baku, yang jelas adalah proses kreatif pengolahan yang akan menentukan nilai akhir produk perhiasan. Artinya, bahan baku batu mulia dari manapun, jika pengrajin di Martapura mampu memberikan polesan kreatif, maka produk akhirnya bisa diberi label “made in Martapura” atau “product of Martapura”.

PERAN PEMDA
Seperti yang terjadi di level nasional, pemda-pemda kita di Kalsel masih menggantungkan pergerakan ekonomi dari sektor-sektor ekstraktif dan eksploitatif (pertambangan, kehutanan pertanian, perkebunan) yang terbatas menghasilkan bahan baku dan jarang melirik sektor-sektor ekonomi kreatif seperti wirausaha kecil dan menengah yang memiliki berbagai macam variasi produk: kerajinan, makanan olahan, perhiasan dll. Dalam jangka pendek ekonomi ekstraktif memang menguntungkan namun rapuh dalam jangka panjang setelah daya dukung lingkungannya berkurang atau bahan tambangnya habis. Industri pertambangan kreatif tidak akan mati meskipun bahan baku tambang di daerah ini habis, karena bahan baku ini bisa didapatkan dari daerah lain. Artinya, kesinambungan (sustainability) dari industri ini akan berlangsung terus-menerus.
Pemda, baik pemprov dan pemkab harus terus menerus mencari terobosan untuk membina dan mengembangkan industri pertambangan kreatif ini. Saat ini Kalsel telah memiliki modal penting yaitu brand dan positioning yang bagus yaitu Martapura dan tambang intan di Cempaka, Banjarbaru. Dalam hal ini pemprov Kalsel, Pemkab Banjar, dan Pemko Banjarbaru tinggal mengembangkan ke skala internasional. Bahan tambang semacam serpentinit (batuan beku basa berwarna hijau) yang banyak ditemukan di kawasan Awang Bangkal, Kab Banjar selama ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, padahal dengan proses kreatif sederhana batuan ini dapat dipoles menjadi produk seni bernilai seni tinggi dan tentunya nilai ekonomisnya juga tinggi, seperti asbak, plakat, aneka gelang dan kalung dst. Keberadaan badan/balai penggosokan intan Martapura tentu sangat positif dalam mengembangkan “sentuhan kreatif” bahan mentah permata. Keberadaan lembaga ini juga harus diimbangi dengan imbauan untuk tidak memperjual belikan intan/permata mentah. Saat ini jual beli intan dilakukan secara konvensional dan tidak didasarkan pada klasifikasi/sertifikasi standar tentang spesifikasi intan yang diperdagangkan (karat, kecerahan dll). Tentu hal ini tidak kondusif dalam perdagangan intan permata internasional.
Pemprov dan pemkab/pemkot dapat juga menggelar pameran-pameran batu mulia yang mungkin dipadu dengan festival budaya/keagamaan sehingga tidak hanya produk perhiasan batu mulia Martapura semakin dikenal luas namun potensi wisata Kalsel dapat terus berkembang. Pihak swasta seperti agen perjalanan dan perhotelan tentu dapat berperan aktif dalam usaha ini. Festival kreatif catwalk jalanan seperti yang menjadi agenda tahunan di Jember, Jatim dapat dijadikan referensi bentuk kemasan agenda wisata apa yang dapat dibuat.
Proses kreatif manusia adalah proses yang tidak akan pernah usai. Proses ini tidak hanya sebatas menghasilkan produk-produk material, namun sekaligus juga dapat memperkaya khasanah budaya lokal. Tata nilai dapat juga tumbuh berkembang dengan baik. Akhirnya, mari kita lihat apakah pemerintah kita terketuk untuk menggerakkan sektor pertambangan kreatif ini atau hanya sekedar mewarisi dan mewariskan ekonomi ekstraktif seperti sekarang ini yang terbukti tidak memberi manfaat luas kepada masyarakat dan di berbagai aspek menyimpan banyak mudharat tersembunyi

CBM GAS MAUT YANG EKONOMIS



Gas metana batubara menampakkan sisi lainnya yang berbahaya yaitu sebagai pemicu meledaknya tambang batubara bawah tanah Bukit Bual, Kecamatan Koto Tujuah, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat 16 Juni lalu. Gas metana batubara (coalbed methane) yang memicu ledakan ini tidaklah berbeda dengan gas metana batubara yang keluar dari sumur bor penduduk di Barambai dan Wanaraya, Batola. Gas di Batola ini rencananya akan dieksplorasi dan diproduksi secara komersial dan telah ada beberapa perusahaan yang memiliki wilayah kerja gas metana di Batola. Tidak berbeda di sini maksudnya adalah sumber dan jenis gas metananya sama, yaitu bersumber pada lapisan batubara dan tipe dan komposisi gasnya yakni metana (CH4). Yang membedakannya adalah proses terlepasnya gas metana ini dari batubara. Pada peristiwa meledaknya terowongan tambang batubara bawah tanah di Sijunjung, keluarnya gas metana ini sebenarnya tidak diinginkan, namun karena setiap aktivitas penggalian batubara selalu menyebabkan gas metana terlepas dan karena berada di lorong bawah tanah, maka gas metana ini dapat terperangkap di lorong-lorong terowongan bagian atas. Nah, jika gas ini jika terperangkap dalam suatu ruang tertutup dengan konsentrasi tertentu maka akan berisiko memicu kebakaran dan ledakan yang dahsyat meski hanya dengan percikan logam sekalipun. Gas metana ini secara lebih spesifik dikenal sebagai Coal Mine Methane (CMM), karena ia terlepas sebagai akibat aktifitas penggalian batubara pada penambangan batubara bawah tanah.
Sementara itu, gas metana yang keluar dari lubang sumur bor di Batola tidak berpotensi meledak meskipun tetap berpotensi mudah terbakar. Hal ini karena gas metana langsung terlepas ke udara bebas. Ketika di udara terbuka, gas metana langsung “hilang” ke atmosfer. Ini terbukti saat pengukuran konsentrasi gas metana di sekitar sumur bor semburan Barambai, dimana konsentrasi tertinggi hanya pada beberapa cm dari permukaan semburan, namun di sekitarnya dalam radius 1 m, gas metana yang terdeteksi sudah sangat kecil sehingga kemungkinan terjadinya ledakan cukup kecil. Bahkan karena sifat mudah hilang di udara bebas, waktu pengambilan sampel gas metana perlu perlakuan khusus untuk menangkap metana. Jika ditelusuri lanjut, gas metana ini bersumber pada lapisan-lapisan batubara yang berada pada kedalaman di bawah 500 m. Gas metana ini dapat bermigrasi ke permukaan tanah melalui rekahan-rakahan alami (patahan geologi) ataupun buatan (sumur bor, galian).

GAS MAUT DAN KESELAMANTAN KERJA
Dalam peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan, Kepmen Pertambangan dan Energi nomor 555 tahun 1995, gas metana pada tambang batubara bawah tanah dikategorikan sebagai gas berbahaya yang harus mendapat perlakuan khusus, terutama jika konsentrasinya telah mencapai 0.25% pada setiap bagian manapun di bawah tanah. Adapun jika suatu tambang telah mengalami kebakaran atau ledakan gas metana, maka tambang tersebut dapat dikategorikan sebagai tambang berbahaya gas (pasal 490). Semua hal yang terkait masalah K3 tambang batubara bawah tanah dibahas lengkap di Bab IX Kepmen ini. Jadi semua ketentuan K3 secara detil dijelaskan di sini, misalnya tentang pemeriksaan, pencegahan penyulutan gas metana, evakuasi, ventilasi, sistem pemantauan dll. Semua ketentuan ini wajib dilaksanakan oleh operator tambang batubara bawah tanah. Nah, jika ada ketentuan yang tidak ditaati maka resiko terjadinya kebakaran dan ledakan tentunya akan menjadi sangat besar.
Sangat diyakini bahwa ketentuan-ketentuan keselamatan ini tidak diterapkan secara benar di tambang batubara bawah tanah Sijunjung yang meledak minggu lalu dan menewaskan lebih dari 30 orang. Memang, implementasi dari ketentuan keselamatan ini adalah meningkatnya biaya produksi, misalnya untuk membangun ventilasi yang cukup harus membeli blower yang mungkin tidak terjangkau oleh operator tambang skala kecil. Blower ini berfungsi memasok udara ke lorong-lorong tambang dan permuka kerja (bagian muka batubara yang digali) sehingga gas metana tidak sempat terakumulasi karena dapat terus-menerus dikeluarkan dari lubang tambang. Tipikal tambang-tambang kecil untuk bahan galian apapun adalah diabaikannya aspek keselamatan kerja. Hal ini bukan dikarenakan mereka tidak mau, namun lebih banyak terkait masalah biaya yang mesti ditanggung penambang jika menerapkan ketentuan keselamatan kerja.
Dari perspektif ini, tidak bijak rasanya menjadikan para penambang skala kecil sebagai kambing hitam. Yang lebih bijaksana adalah bagaimana membimbing penambang ini agar paling tidak menerapkan standar minimal keselamatan kerja. Pertanyaannya, siapa yang harus membimbing dan sudahkah mereka menerima bimbingan ini? Tentu yang bertanggung jawab untuk membimbing setiap usaha pertambangan di daerah adalah pihak yang mengeluarkan ijin pertambangan, yang di masa otonomi ini di tangan Pemerintah Kabupaten, khususnya Dinas Pertambangan setempat. Dan apakah penambang sudah menerima bimbingan, teguran, pengawasan dst, Pemkab setempatlah yang mesti menjawab.
Ada benang merah jika kita kaitkan kejadian ledakan tambang batubara bawah tanah Sijunjung dengan operasi tambang batubara di Kalsel, yaitu aspek K3 plus lingkungan. Setelah era otonomi, Pemkab berlomba-lomba menerbitkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) yang hingga kini berjumlah 300 ijin KP. Pertanyaannya, mampukah (secara kualitas dan kuantitas personil) Pemkab penerbit ijin KP ini melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap operasi tambang yang dilakukan oleh pemilik KP-KP ini untuk aspek K3 dan lingkungan? Jika jawabannya ya, tidak ada masalah, namun jika jawabannya tidak/belum mampu, maka jika terjadi insiden terkait K3 dan lingkungan, jelas tidak boleh pemilik KP-KP ini dijadikan kambing hitam tunggal. Artinya, harus ada kejelasan atas pertanyaan apakah KP-KP ini telah diawasi dengan benar?

NILAI EKONOMIS
Seperti disinggung sebelumnya, gas metana batubara ini (baik sebagai CMM ataupun CBM) dapat bernilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik maupun bahan bakar kendaraan (setelah diproses menjadi Compressed Natural Gas (CNG) atau Adsorbed Natural Gas (ANG)). Dalam waktu tidak lama lagi, Indonesia akan mengalami defisit gas, bahkan saat ini perusahaan pupuk seperti pupuk Sriwijaya telah mengalami kekurangan pasokan gas. Keberadaan CBM tentunya strategis untuk menambah pasokan gas kita di masa mendatang.
Apakah jika gas metana batubara ini dimanfaatkan, maka aspek bahanya juga akan hilang dengan sendirinya? Tentu saja tidak, sisi bahayanya akan tetap mengintai setiap saat, tidak dapat dihilangkan. Sama saja seperti bensin dalam kendaraan bermotor kita dimana ia dapat terbakar setiao saat jika kita tidak hati-hati dalam penanganannya. CBM setelah diproduksi dari sumur-sumur produksi maka harus disimpan pada tangki penyimpan khusus dan dengan penanganan khusus pula. Semua teknologi, cara-cara penanganan dan standar keselamatan untuk menangani gas ini mulai dari yang aman telah tersedia, masalahnya adalah mau tidak dan mampu tidaknya kita memenuhinya. Yang dapat meledak sebenarnya tidak hanya CBM, gas elpiji (Liquid Petroleum Gas/LPG) yang sehari-hari sangat dekat dengan kita juga memiliki potensi bahaya yang sama. Insiden-insiden tabung elpiji dan bahkan depot elpiji yang meledak sudah jamak terjadi. Harapannya tentu kita dapat memanfaatkan gas metana batubara dan terhindar dari bahaya yang mengintai darinya.