Dalam beberapa bulan terakhir harga batubara melorot tajam sampai ke level terendah, US $ 84 per ton dari sebelumnya yang sempat mencapai US $ 112 per ton, dan diperkirakan sampai akhir tahun ini harganya tidak lebih dari US $ 90 per ton (The Jakarta Post, 8 Agustus). Hal ini terkait dengan lemahnya pasar akibat lemahnya geliat ekonomi global karena krisis berkepanjangan Eropa. Dampaknya banyak produsen batubara di Indonesia menurunkan level produksinya tahun ini. Pertanyaannya adalah apakah fenomena ini merepresentasikan masa depan batubara akan suram dalam konteks pemenuhan kebutuhan energi nasional dan global? Apakah peran batubara dalam bauran energi (energy mix) ke depan masih diperhitungkan? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh produsen batubara ataupun pemerintah?
Setiap geliat ekonomi selalu memerlukan energi sebagai motor penggeraknya. Pabrik-pabrik besar sampai dengan usaha-usaha kecil rumah tangga memerlukan listrik dalam setiap operasinya. Tidak hanya di sektor ekonomi, di sektor lainnya, peran listrik sangat vital, seperti transportasi, rumah sakit, pendidikan, telekomunikasi maupun kehidupan sosial sehari-hari. Pasokan energi listrik dapat berasal tenaga pembangkit konvensional seperti batubara PLTU, tenaga diesel PLTD, air PLTA, gas PLTG dan nuklir PLTN maupun yang terbarukan seperti tenaga matahari PLTS, tenaga angin, panas bumi dan gelombang laut.
Peran batubara dalam bauran energi global cukup besar dan diprediksi akan semakin besar sejalan dengan berkurangnya peran minyak bumi. Sebagai gambaran, China sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, mencatat lebih dari 70% kebutuhan energinya berasal dari batubara. Persentase ini akan semakin berlipat di masa mendatang. Secara global, sampai dengan tahun 2030 kebutuhan energi akan mencapai dua kali lipatnya. Dan lagi-lagi batubara masih menjadi pilihan favorit. Hal ini terkait dengan beberapa unggulan batubara dibanding sumber energi lain diantaranya: ketersediaan cadangan yang berlimpah, distribusi keberadaan batubara yang tidak tersentralisasi seperti minyak bumi yang mayoritas berasal dari Timur Tengah sehingga mengurangi resiko geo-politik yang tinggi, dan dekatnya produsen batubara dengan konsumen energi.
MASA DEPAN BATUBARA
Paparan fakta-fakta di atas menunjukkan batubara masih akan menjadi sumber energi penting dan superior dibanding sumber-sumber energi lain di masa mendatang. Namun, hal ini dapat berubah menurut waktu tergantung berbagai faktor antara lain kesadaran lingkungan, bencana alam dan ditemukannya teknologi baru untuk esploitasi sumber energi baru.
Yang pertama adalah isu hangat meningkatnya kesadaran global untuk memerangi global warming, yang salah satu sumbernya adalah gas rumah kaca yaitu CO2 hasil pembakaran fossil fuel, terutama minyak bumi dan batubara. Kesadaran ini membawa konsekwensi banyaknya penolakan penggunaan batubara sebagai sumber energi listrik, terutama di negara-negara maju seperti USA, Eropa dan Australia. Sisi positifnya adalah semakin gencarnya penelitian untuk mengembangkan lebih intensif sumber-sumber energi bersih dan terbarukan, green energy ramah lingkungan seperti surya dan angin.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi bauran energi adalah bencana alam. Sebagai contoh adalah Jepang yang mengalami bencana gempa yang diikuti tsunami bulan Maret tahun lalu yang merusak fasilitas PLTN Fukushima. Bencana ini mengakibatkan terancamnya ribuan masyarakat dari bahaya radiasi yang berbahaya. Masyarakat Jepang selanjutnya menuntut agar seluruh PLTN yang beroperasi di seluruh Jepang di-iddle atau di non aktifkan. Penolakan masyarakat Jepang dan global (misal USA, Jerman, Italia bahkan China) atas PLTN tentu membuat banyak pemerintah merumuskan kembali kebijakan bauran energi saat ini dan di masa mendatang. Dan batubara cukup baik sebagai pilihan alternatif.
Selanjutnya, penemuan teknologi baru untuk mengeksploitasi sumber energi baru akan menentukan kebijakan dan bauran energi saat ini maupun masa mendatang. Beberapa bulan terakhir santer diberitakan kesuksesan USA dalam mengeksploitasi shale gas secara ekonomis. Shale gas adalah gas alam yang terjebak dalam lapisan batuan batulanau (shale) yang volumenya sangat besar. Untuk mengeksploitasinya, lapisan batuan tersebut perlu di-fracking, yaitu diledakkan agar gas yang terjebak dapat dikeluarkan. Temuan teknologi ini merubah skema bauran energi dimana ketersediaan gas menjadi melimpah dan harganya menjadi lebih murah. Akibatnya, ketergantungan terhadap minyak bumi dan batubara secara global dapat dikurangi secara signifikan.
Jadi ada beberapa faktor yang dapat menjadikan batubara tetap menjadi pilihan menarik dalam bauran energi di masa mendatang, namun juga ada faktor yang membuatnya menjadi kurang kompetitif. Untuk negara-negara berkembang, seperti Indonesia, batubara masih berperan penting dalam bauran energi nasional. Namun, pemerintah Indonesia perlu lebih cerdas dalam merumuskan kebijakan bauran energi masa mendatang. Kondisi rendahnya harga batubara saat ini, perlu dilihat sebagai momentum produsen batubara dan pemerintah untuk introspeksi. Bentuknya adalah memperhatikan soal konservasi sumberdaya batubara dan mulai mengkonversi batubara menjadi listrik di dalam negeri, tidak semata diekspor. Eksploitasi batubara perlu disesuaikan dengan rencana bauran energi saat ini dan masa mendatang. Indonesia saat ini menjadi eksportir batubara terbesar di dunia sementara cadangan yang dimiliki tidaklah besar, tidak termasuk dalam 10 besar negara yang memiliki cadangan batubara terbesar. Lebih baik, peningkatan level produksi batubara diikuti dengan peningkatan produksi listrik negeri ini, untuk kemajuan ekonomi.
Saat ini, masih banyak daerah, ironisnya merupakan penghasil batubara, yang pasokan listriknya konsisten tidak memadai atau byar pet. Akan ironis lagi jika di masa mendatang Indonesia konsisten byar pet karena batubara sudah habis diekspor.