Thursday, February 5, 2009

SEKTOR TAMBANG KALSEL SAAT KRISIS

Lesunya aktifitas ekonomi dunia yang dipicu krisis keuangan AS ternyata mempengaruhi perekonomian lokal, regional, dan nasional di berbagai sektor , termasuk pertambangan. Memang sepertinya tidak ada subsektor ekonomi yang imun terhadap resesi global yang diperkirakan akan mencapai klimaks di pertengahan 2009 mendatang. Daya beli masyarakat yang lemah menekan tingkat konsumsi primer maupun sekunder yang berimbas pada rendahnya permintaan barang dan jasa. Rendahnya permintaan ini berimbas kepada menurunnya daya serap terhadap bermacam produk barang dan jasa yang dihasilkan bermacam industri kecil-menengah maupun besar, terutama yang berorientasi ekspor.
Industri yang memerlukan bahan baku olahan hasil tambang seperti industri otomotif juga mengalami kelesuan akibat menurunnya angka penjualan produk otomotif. Negara-negara utama produsen otomotif seperti AS dan Jepang bahkan harus menggelontorkan berbagai bantuan finansial guna mempertahankan eksistensi industri otomotif mereka. Akibatnya, harga berbagai komoditas mineral seperti tembaga, besi, platinum, zinc, coking coal mengalami penurunan tajam. Anjloknya harga mineral di pasar dunia memaksa banyak perusahaan besar pertambangan untuk merasionalisasi berbagai rencana eksplorasi, eksploitasi, dan produksinya. Nah, bagian pahit dari program ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap para karyawannya. Rio Tinto, perusahaan tambang raksasa Australia mengumumkan akan mengurangi 14.000 karyawannya di seluruh dunia.
Sektor pertambangan Kalsel memang bukanlah sektor penyumbang terbesar terhadap perekonomian Kalsel, namun ia tetap merupakan sektor strategis bagi Kalsel. Sektor pertambangan Kalsel bertumpu pada dua jenis komoditas utama: batubara dan bijih besi. Ada dua jenis batubara yang dipasarkan untuk dua keperluan yang berbeda: coking coal dan thermal coal. Batubara coke merupakan bahan mineral yang berkaitan tidak langsung dengan industri otomotif yang sedang kolaps, karena ia terkait dengan pembuatan baja. Sementara itu, permintaan baja melemah di pasar Eropa dan Asia akibat krisis sehingga harga batubara coke yang digunakan dalam pembuatan baja juga turun. Dampak besar ini sangat terasa di industri pertambangan batubara di Australia yang ditandai dengan rencana PHK besar-besaran pada perusahaan-perusahaan besar batubara diantaranya Xstrata dan Macarthur Coal. Sementara itu, thernal coal adalah batubara yang dimanfaatkan sebagai pembangkit energi listrik, seperti yang dimanfaatkan PLTU Asam-Asam.
Bagaimana Kalsel?
Indonesia merupakan eksportir terbesar batubara thermal yang menyuplai sekitar 40% pasar thermal coal dunia. Meskipun eksportir terbesar batubara thermal dunia, sesungguhnya ekspor tersebut utamanya hanya ditujukan untuk China dan India, dua raksasa baru industri di dunia. Cadangan batubara thermal Indonesia, termasuk Kalsel, kebanyakan memiliki nilai kalori yang rendah (dibawah 6200 kkal/kg) sehingga agak sulit menembus pasar di luar Cina dan India.
Akankah pelaku usaha pertambangan di Kalsel (terutama batubara) mampu bertahan di tengah krisis global saat ini? Jawaban optimis dilontarkan oleh Jeffrey Mulyono, ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, yang menyatakan bahwa sektor tambang, khususnya batubara, jauh dari kemungkinan kolaps. Memang, sejauh pengetahuan penulis, memang belum ada rencana PHK besar-besaran di sektor pertambangan di Kalsel akibat imbas krisis finansial global saat ini.
Untuk batubara hasil produksi Kalsel, boleh jadi pendapat Ketua APBI cukup beralasan karena produk batubara Kalsel adalah batubara thermal yang tidak terkait langsung dengan industri yang sedang kolaps saat ini (baja dan otomotif) dan juga tujuan ekspor produk tersebut bukan ke negara yang terkena gelombang pertama krisis finansial, AS. Namun, dalam perekonomian dunia yang semakin saling mengkait, tentu saja perekonomian Cina dan India, dua negara tujuan ekspor batubara Indonesia, tidaklah kebal terhadap lesunya ekonomi dunia. Sehingga, sangat mungkin di di tahun 2009 yang baru ditapaki ini, harga batubara thermal Indonesia bisa jatuh seiiring dengan turunnya permintaan akibat melemahnya perekonomian Cina dan India.
Langkah bijak yang bisa diambil pelaku usaha pertambangan batubara Kalsel untuk tetap bertahan dari deraan krisis global sekarang adalah mulai melirik pangsa pasar domestik. Sesungguhnya langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang akan membangun pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap yang memerlukan suplai batubara yang cukup di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Kalimantan. Memang langkah ini dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan batubara karena harga batubara domestik selalu lebih rendah dibanding harga jika batubara tersebut diekspor. Jadi, diperlukan dukungan semua pihak, terutama pemerintah, untuk memberikan berbagai pancingan agar perusahaan-perusahaan batubara di Kalsel mau menjual produk batubaranya di dalam negeri. Jika pancingan halus tidak diindahkan, pancingan yang bersifat memaksapun sah dilakukan karena masak di dalam negeri saat ini sedang mengalami krisis energi (listrik) lha kok bahan energi batubara-nya semua dijual ke luar? Gak logis dong! Nah, semoga krisis ini memberikan pelajaran bagi pelaku sektor pertambangan di Kalsel untuk tidak terlalu mengagungkan ekspor sebagai pilihan pemasaran produk tambangnya. Menguatkan pasar domestik tentu akan memberikan nilai manfaat ekonomi dan sosial yang lebih berkelanjutan bagi pembangunan daerah, regional, dan nasional

No comments: