Friday, March 27, 2009

MELIMPAHNYA SUMBERDAYA ALAM: SUATU KUTUKAN?

Hipotesis “kutukan sumberdaya alam (resources course)” secara jeli mengungkap tabir kenyataan pahit dimana banyak negara-negara dengan sumberdaya alam (SDA) melimpah - khususnya suberdaya mineral- justru masih dicengkeram kemiskinan. Hipotesis ini muncul di tahun 1990an dan dipopulerkan salah-satunya oleh seorang profesor dari Harvard University, Jeffrey D Sach. Menurutnya, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa kutukan ini memiliki dasar fakta-fakta yang solid. Negara-negara dengan SDA melimpah cenderung untuk mengekspor produk bahan mentahnya yang diekstrak dari SDAnya namun gagal dalam memanfaatkan keuntungan ekspor ini untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh lagi, karena begitu menggiurkannya keuntungan mengeksploitasi SDA, maka aktifitas kreatif, inovasi dan enterpreneurship yang penting bagi pertumbuhan ekonomi menjadi mandeg (Gylfason et al., 1999).
Dalam konteks Indonesia (atau bisa ditarik ke dalam konteks yang lebih sempit, daerah), banyak fakta yang memperkuat hipotesis ini. Bagaimana tidak, dengan berbagai kekayaan alam yang dimiliki Indonesia baik hayati maupun non hayati seperti: hutan tropis, lahan yang subur, keelokan pesona alam, aneka sumberdaya mineral dan energi, dan sumberdaya laut dan pesisir, Indonesia masih tergolong sebagai negara berkembang (baca: agak miskin). Data Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Manusia (HPI), dan Produk Domestik Bruto (GDP) tahun 2005 yang dirangkum oleh US Central Intellegence Agency (2008) mempertegas hal ini.
Berdasar HDI, kita menduduki ranking 107 dari 177 negara. Artinya, kualitas sumber daya manusia kita (merujuk pada hasil pembangunan seperti di bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan) masih tergolong rendah. Sementara itu, jika merujuk kepada HPI, kita berada di posisi 47 dari 108 negara. Semakin rendah HPI suatu negara, semakin makmur negara tersebut. GDP Indonesia sekitar 3.800 US $. Jika kita bandingkan dengan Malaysia, yang notabene lebih sedikit memiliki SDA, kita terpaut jauh. Dari sumber data yang sama, peringkat HDI Malaysia berada di posisi 63 dan di posisi 16 berdasar HPI dengan GDP 10.900 US $.
Mari sedikit kita renungkan dengan berkaca pada kondisi kita di Kalimantan Selatan ini. Kalsel memiliki segudang sumberdaya alam, sebut saja: batubara, bijih besi, hutan (yang ini telah mengalami over-eksploitasi), lahan perkebunan dan pertanian nan luas, perikanan, serta keindahan pesona alamnya plus keunikan budayanya. Logikanya, dengan modal sumberdaya alam yang melimpah ini, urang banua semestinya bisa menikmati kehidupan yang (meminjam istilah orang jawa) makmur gemah ripah loh jinawi (makmur-sejahtera-berkelimpahan). Namun, karena SDA yang melimpah mengandung suatu kutukan, maka kenyataannya berbicara lain.
Memang kita dapat dengan mudah melihat sebagian kecil masyarakat Kalsel yang dapat hidup berkelimpahan dari hasil eksploitasi SDA, misalnya batubara. Namun sejatinya, mereka dapat mengecap kue hasil eksploitasi SDA hanya sementara saja karena mereka umumnya mendapat kekayaan dari usaha-usaha non-kreatif, non-inovatif apalagi karena kerja keras ala enterpreneur contohnya dari fee lahan batubara, fee jalan batubara, fee keamanan, fee stockpile, dll.
Akan menjadi parah jika fenomena ini menjangkiti pemerintah daerah (pemda), dimana pemda hanya berperan sebagai, meminjam istilah Gylfason et al., rent-seeking atau pencari rente dari usaha eksploitasi batubara dan mengabaikan kebijakan-kebijakan pembangunan yang pro-pertumbuhan (pro-growth). Pada akhirnya, karena jiwa enterpreneurship baik masyarakat maupun pemda mati maka tak ada yang bisa diharapkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi manakala SDA telah terkuras habis.
Kebijakan yang bisa dianalisa misalnya adalah ijin untuk menggunakan jalan umum bagi angkutan batubara. Kebijakan ini sekilas sangat bagus (untuk sektor pertambangan), karena memberi banyak peluang kerja lintas kabupaten, namun jika dikaji mendalam, kebijakan ini dapat dikatakan timpang karena mengabaikan sektor-sektor lain utamanya transportasi. Dalam hal ini ada hal yang cenderung dilupakan yaitu adanya subsidi tersembunyi pemda bagi pengusaha pertambangan. Sebagai contoh, pelaku pertambangan seharusnya membangun, memiliki, dan merawat jalan tambangnya sendiri. Nah, jika memakai jalan umum, pengusaha mendapat subsidi tersembunyi karena tidak perlu membangun dan tidak perlu repot memperbaiki jika jalan tersebut rusak parah karena pemda siap memperbaiki. Dari contoh ini saja muncul pertanyaan sederhana apakah pendapatan pemda dari royalti batubara (ambil perumpamaan sampai batubara habis dieksploitasi) akan sepadan dengan dana yang diperlukan untuk perbaikan ruas jalan yang rusak tiap tahun?
Pertambangan memang sektor penting bagi ekonomi Kalsel, namun sesungguhnya bukanlah yang paling utama. Ini terkait dengan bentuk kutukan SDA yang lain yaitu konflik-konflik SDA (resources conflicts) yang merujuk fakta adanya perebutan kewenangan untuk mengeksploitasi SDA baik antar dinas/departemen, antar pemda, bahkan antar negara. Perebutan wilayah perbatasan antara Tanah Bumbu dan Banjar jika dicermati dari betapa gigihnya kedua-belah pihak berkonflik, kemungkinan besar konflik ini berakar pada perebutan SDA dan bukanlah persoalan administratif belaka.
Prosentase kontribusi sektor pertambangan bagi GDP Kalsel masih nomor dua setelah pertanian. Gambaran ini sama persis dengan prosentase GDP nasional. Di tahun 2007, secara nasional sektor pertanian menyerap 42.6 juta tenaga kerja sedangkan pertambangan hanya menyerap 1 juta saja (Takii dan Ramstetter, 2007). Jika demikian, tentu lebih bijak jika pemerintah (pusat dan daerah) misalnya mau mengelola secara intensif dengan semangat enterpreneurship dan disertai kerja keras sektor pertanian dan bukan menjadi rent-seeking eksploitasi SDA semata.

No comments: