Monday, January 4, 2010

TERCEMARNYA SUNGAI BALANGAN DAN PROTEKSI LINGKUNGAN HIDUP

Berita tercemarnya Sungai Balangan akibat meluapnya air limbah batubara dari kolam pengendapan (settling pond) SP 6B PT Adaro Indonesia, pada Kamis (22/10) malam (Kompas online, 23/10) sepertinya tertelan oleh hiruk-pikuk pemberitaan media mengenai “cicak vs buaya”. Dalam situasi normal, peristiwa seperti ini tentu akan menjadi bahan pemberitaan hangat media lokal maupun nasional, karena kejadian ini terkait dengan masalah lingkungan akibat aktivitas tambang serta mengingat Meneg Lingkungan Hidup adalah urang Banua. Terlebih jika dikaitkan juga dengan kiprah 100 hari kabinet di bidang lingkungan hidup, maka kasus lingkungan ini mungkin akan menjadi semacam “uji publik” terhadap sang menteri LH. Biasanya dalam 100 hari pertama masa kerjanya, para menteri pengin unjuk gigi agar terlihat kompeten di mata presiden da rakyat. Selain itu, dengan telah diundangkannya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, permasalahan tercemarnya Sungai Balangan tidak hanya dapat dipandang sebagai persoalan teknis terkait tercemarnya air sungai akibat limpasan air limbah batubara, namun persoalan ini juga berdimensi hukum dan sosial.
Tulisan yang akan memaparkan pentingnya peran perusahaan, pemerintah, masyarakat, serta aturan hukum dalam mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pendapat instansi dimana penulis bekerja.

MANAJEMEN LINGKUNGAN TAMBANG
Di dalam situs websitenya (www.adaro.com) yang berbahasa Inggris (yang tentunya tidak komunikatif untuk masyarakat umum di Kalsel maupun Indonesia), PT Adaro menyatakan berbagai komitmen idealisnya dalam hal perlindungan lingkungan (environmental protection) melalui apa yang disebut kebijakan lingkungan PT Adaro, seperti misalnya: “terus-menerus meningkatkan pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang terbaik (environmental management best practice)…”, “secara efektif mengelola dampak lingkungan yang potensial dan menghindari degradasi lingkungan” dan masih ada bebarapa kebijakan lagi. Tujuan yang dinyatakan PT Adaro adalah untuk “memastikan bahwa perusahaan akan terus-menerus memenuhi standar tertinggi internasional dan nasional dalam (upaya) rehabilitasi lingkungan…”. Pertanyaannya adalah, apakah komitmen “yang sempurna” ini hanya sekedar semboyan kosong atau telah berkorelasi positif dengan kinerja pengelolaan lingkungan hidup (mining environmental management performance) PT Adaro? Kemudian, apakah komitmen ini telah diwujudkan dalam suatu sistem manajeman lingkungan tambang (mining environmental management system / mining EMS) yang terstandarisasi sesuai standar ISO 14001?
Kinerja (performance) lingkungan ini dapat diukur dari berbagai aspek seperti: akuntabilitas penggunaan sumberdaya alam (lahan, air) termasuk besarnya limbah dan emisi yang dihasilkan (jenis polutan ke udara, air, serta tanah), seberapa jauh perusahaan dapat memenuhi standar lingkungan yang ditentukan dan berapa banyak komplain terkait lingkungan yang diterima baik dari masyarakat, LSM, maupun pemerintah. Sayangnya tidak ada data lingkungan (environmental data) yang dapat diakses dari website PT Adaro. Satu hal yang tidak ter-ekspose adalah adakah EMS PT Adaro sudah sesuai kriteria ISO 14001? jika PT Adaro memang memiliki komitmen yang tinggi terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan, seharusnya ada informasi mengenai sistem manajemen lingkungan yang diterapkan (in place) apalagi jika sistem tersebut telah memenuhi standar ISO 14001.
Secara singkat seri ISO 14001 berkaitan dengan sistem manajemen lingkungan (EMS) yang dapat diterapkan di berbagai jenis industri, berbagai skala usaha maupun lokasi usaha. Setiap badan usaha yang bersertifikasi ISO 14001 maka badan usaha tersebut dapat dikatakan telah melakukan usaha pengelolaan lingkungan yang bertujuan meminimalkan dampak negatif usahanya di seluruh area operasinya dan di setiap aspek produksinya dengan menerapkan sistem manajemen lingkungan. Aspek yang perlu dipenuhi dalam ISO 14001 adalah kebijakan (policy), perencanaan (planning), penerapan (implementation), evaluasi (evaluation), dan peningkatan kinerja secara berkelanjutan (continuous improvement). Dalam ISO 14001 pengelolaan lingkungan harus dilaksanakan pada semua aspek operasi, di seluruh kegiatan apapun dan dimanapun sampai hal-hal yang kecil. Misalnya pengelolaan lingkungan di area workshop: jenis kegiatannya apa saja, potensi pencemaran apa saja, material yang digunakan apa saja dan bagaiman upaya pengelolaan lingkungannya. Semua diatur jelas dan detil. Biasanya, kita bisa pandang perusahaan tersebut sebagai green company. Nah, perusahaan sekelas PT Adaro tentunya telah memiliki dan menerapkan EMS, namun sudahkan bersertifikasi ISO 14001?


UU LINGKUNGAN HIDUP
Selanjutnya, meskipun upaya ganti rugi terhadap masyarakat yang terkena dampak tercemarnya air Sungai Balangan ini akan segera dilaksanakan, namun bukan berarti tanggung-jawab PT Adaro telah selesai. Pertanyaan mengapa air limbah batubara dapat meluap? Adakah unsur kesengajaan atau kelalain? Sudah cukupkah usaha PT Adaro mengantisipasi unusual high rainfall? Adakah potensi kerusakan/degradasi lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible environmental damage/change)? Dan berbagai pertanyaan lainnya harus terjawab. Meskipun demikian, langkah cepat PT Adaro untuk segera memberikan ganti rugi ini patut diapresiasi, meskipun hal itu sebenarnya adalah sebuah “keharusan” untuk kepentingan PT Adaro sendiri, karena jika tidak maka masyarakat secara hukum dapat menuntut ganti rugi akibat pencemaran lingkungan akibat aktivitas suatu badan usaha. UU No 32 Tahun 2009, pasal 91 mengatur hak gugat masyarakat apabila “mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Selain masyarakat, LSM lingkungan juga berhak mengajukan gugatan “untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup” meskipun tidak boleh menuntut ganti rugi. Selain kepada masyarakat dan LSM, UU ini juga memberikan ruang bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menggugat badan usaha yang mencemari lingkungan (ketentuan pasal 90).
Dengan berbagai hak gugat dalam UU ini, tentu saja akan memberikan angin positif bagi upaya pencegahan dan perlindungan lingkungan hidup, karena setiap badan usaha akan selalu berhati-hati dalam melaksanakan aktivitasnya agar tidak mencemari lingkungan. Lebih lanjut, ada ketentuan pidana bagi perusahaan yang dengan sengaja maupun tidak (karena kelalaiannya) menyebabkan pencemaran lingkungan hidup, misalnya menyebabkan terlampauinya baku mutu air, udara, maupun kriteria kerusakan lingkungan hidup lain. Nah, jikalau dalam investigasi dari pihak berwenang (penyidik kepolisian maupun penyidik pegawai negeri sipil) terbukti bahwa PT Adaro dengan sengaja mencemari Sungai Balangan, maka menurut ketentuan pasal 98 UU 32/2009 ancamannya adalah penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Adapun jika hanya “lalai” maka menurut pasal 99 ancaman hukumannya paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Ketentuan ancaman pidana dan denda yang “keras” ini jika diikuti dengan implementasinya secara konsekwen, tentu akan menjadi instrumen yang efektif dalam usaha perlindungan terhadap lingkungan hidup dan pengendalian perusakan lingkungan hidup. Pemerintah sebagai regulator, juga tidak bisa seenaknya menerbitkan suatu ijin lingkungan tanpa assesment memadai, karena masyarakat juga memiliki hak gugat administratif atas pemerintah/pemerintah daerah jika pemerintah/pemda melalui instansi teknisnya “bermain” terkait perizinan lingkungan, misalnya memberikan izin lingkungan tanpa AMDAL atau UKL dan UPL.
Ke depan, dengan semakin ketatnya peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan kontrol yang kuat dari masyarakat dan LSM, maka setiap badan usaha harus segera merubah paradigma-nya dalam memandang lingkungan. Lingkungan hidup tidak semata dipandang sebagai objek ekonomi yang bisa dieksploitasi tanpa batas, namun harus dipandang sebagai bagian penting dari keberlanjutan suatu usaha perusahaan. Lingkungan hidup bukanlah sekedar objek fisik, namun ia menyimpan berbagai layanan ekosistem (ecosystem services) yang penting bagi manusia. Lingkungan hidup juga memiliki dimensi sosial karena seluruh masyarakat bergantung padanya. Perusahaan yang memperhatikan upaya perlindungan lingkungan hidup secara tidak langsung telah bertanggung-jawab secara sosial kepada masyarakat. Dampak positifnya adalah perusahaan tersebut akan diterima baik oleh masyarakat dan ia akan memiliki lisensi sosial (social license) yang sangat penting bagi keberlangsungan operasional perusahaan. Perusahaan, apapun jenisnya, segeralah menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang baik, meskipun tidak harus berstandar ISO 14001.

Didik Triwibowo, MEnvMan
Geolog Lingkungan Distamben Prov Kalsel/
Dosen Pengelolaan Lingkungan T.Kimia Unlam
Email: didik.triwibowo@uqconnect.edu.au

No comments: