Wednesday, May 27, 2009

JALAN NEGARA DAN TRUK BATUBARA

Masyarakat memang masih harus menunggu sampai akhir Juli mendatang untuk bisa terbebas dari debu truk batubara di jalan umum, namun berita sosialisasi larangan penggunaan jalan umum sebagai jalan angkut batubara menjadi semacam asa yang telah lama ditunggu. Tentu, sebelum asa ini menjadi kenyataan nantinya, kita hanya bisa berharap tidak akan ada lagi yang namanya “kebijakan” atau dispensasi apapun yang mementahkan aturan larangan penggunaan jalan umum bagi truk-truk batubara.

Setiap peraturan yang mengatur kepentingan orang banyak yang tentu punya berbagai kepentingan berbeda, pastilah akan menimbulkan pro dan kontra termasuk perda larangan penggunaan jalan negara untuk keperluan pertambangan. Mereka yang menolak pemberlakuan larangan ini tentu saja akan mencari berbagai pembenaran yang diantaranya adalah berlindung di balik pasal 91 UU Minerba (UU No 4 Tahun 2009) yang berbunyi “Pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” dan beberapa argumen terkait dengan kemungkinan hilangnya berbagai kesempatan kerja yang tercipta dari pengangkutan batubara lewat jalan umum.

Subtansi Aturan Publik

Subtansi suatu aturan yang menyangkut kemaslahatan publik seharusnya memang berpihak kepada publik dan bukan kepada kepentingan pihak tertentu, meskipun memang tidak boleh juga menafikan atau mengabaikan kepentingan stakeholder lain seperti misalnya pengusaha. Jadi suatu aturan publik seharusnya dibuat agar publik secara keseluruhan dapat memperoleh manfaat yang lebih besar daripada mudharatnya.

Pasal 91 UU Minerba memang dapat dipakai sebagai pembenar penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara jika pasal ini dipahami secara sempit. Mari sedikit kita perluas. Pertama, mengapa pasal ini bisa muncul? Karena memang sebenarnya tidak mungkin melarang pengangkutan bahan tambang dari lokasi asalnya ke konsumen tanpa memakai jalan umum. UU Minerba mengatur pertambangan mineral secara luas termasuk pertambangan mineral bukan logam dan batuan semacam bahan galian industri (batugamping, zeolit, mika dll), bahan galian keramik (kaoli, clay, dll), bahan konstruksi (granit, marmer, andesit, dll) dan bahan galian batu mulia. Sulit dibayangkan jika semua bahan galian di atas, misalnya batu gunung, tidak boleh diangkut melalui jalan umum. Dan lagipula, meskipun ada, jarang kita mendengar banyak komplain dari masyarakat jika ada truk pasir dan batu berseliweran di jalan umum karena memang jumlah truk-truk ini tidak mencapai ribuan.

Kedua, justru karena pasal ini terlalu umum, perlu aturan yang lebih khusus lagi sesuai konteks kondisi daerah. Untuk konteks Kalsel, jelas sudah bahwa pemanfaatan jalan umum untuk angkutan batubara lebih banyak menimbulkan mudharat dibanding manfaatnya, sehingga seharusnya sudah dilarang. Mudharat membiarkan ribuan truk batubara berseliweran di jalan umum tiap malam dari yang paling besar ke paling kecil antara lain: jalan dan jembatan umum jauh lebih cepat rusak (contohnya ruas jalan di Tapin, Banjar, Banjarmasin, Tala, Tanbu dan bandingkan dengan ruas jalan ke Amuntai), selain itu sudah cukup banyak kasus lakalantas yang melibatkan truk batubara sebagai biang keladinya, mudharat lainnya adalah besarnya kemungkinan penyakit ISPA pada mayarakat di pinggir jalan yang dilalui ribuan truk batubara tiap malam, hilangnya kemerdekaan masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan berkendaraan di jalan umum, banyaknya potensi konflik horisontal di masyarakat (contohnya kasus penutupan jalan oleh masyarakat yang berbuntut ketegangan antara masyarakat dan sopir truk batubara), dan kemungkinan menurunnya kualitas lingkungan akibat tumpahnya batubara di jalan, ceceran oli truk pengangkut dll. Bagaimana dengan manfaat ke publik? Ada yang berargumen bahwa penggunaan jalan umum untuk batubara akan mendorong terciptanya banyak lapangan kerja informal seperti ribuan sopir, warung-warung, pekerja penutup terpal, petugas pengatur lalu lintas, bengkel truk, tambal ban, dll. Memang benar, tetapi apakah kesempatan kerja ini akan hilang jika ribuan truk ini pindah ke jalur khusus batubara? Tidak kan? Tentu yang terjadi hanyalah perpindahan berbagai jenis usaha ini dari misalnya jalan di Danau Salak – Martapura ke jalan khusus batubara.

Ketiga, masih terkait dengan argumen kedua di atas, yaitu pentingnya kita mengingat kembali asas dan tujuan UU Minerba ini yang tercantum di pasal 2 bahwa pertambangan mineral dan atau batubara dikelola berasaskan, diantaranya: manfaat, keadilan, dan keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Usaha angkutan adalah salah satu bagian dari usaha pertambangan mineral dan batubara yang tentu saja harus mengikuti asas-asas di atas. Asas manfaat tidak akan tercapai jika pemerintah mengijinkan ribuan truk batubara melintas di jalan umum sebagaimana fakta yang terjadi menunjukkan akan lebih banyak mudharatnya. Asas keadilan juga sulit dipenuhi karena, jalan umum dibangun dengan uang rakyat dan dipelihara juga dengan uang rakyat, sehingga menjadi tidak adil jika pengusaha batubara memakainya secara taken for granted alias gratis. Selama ini yang terjadi adalah, rakyat mensubsidi pengusaha dengan dipakainya jalan umum yang dibangun dan dipelihara dengan uang pajak rakyat dan pengusaha tidak perlu membangun jalan sendiri untuk mengangkut batubaranya. Selanjutnya keberpihakan pada kepentingan bangsa, dalam konteks pemanfaatan jalan umum bagi angkutan batubara, tidak terpenuhi karena, jelas bahwa mengijinkan ribuan truk batubara di jalan raya adalah bukti keberpihakan terhadap kepentingan pengusaha dan bukan masyarakat luas sebagai representasi bangsa.

Instrumen Lain

Beberapa instrumen lain untuk melarang ribuan truk batubara melintas di jalan umum adalah, pertama dengan mengijinkan truk-truk batubara melintas di jalan umum namun harus “memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan”. Terdengar seperti paradoks, namun jika kita kaji secara teknis dan ekonomis akan tidak menguntungkan pengusaha batubara. Mengapa? jika angkutan batubara diijinkan di jalan umum maka truk-truk batubara ini harus mematuhi UU lalu lintas dan angkutan jalan yang diantaranya harus memenuhi syarat pembatasan tonase dimana untuk kelas jalan III maksimum boleh dilalui kendaraan bertonase 8 ton. Konsekwensinya adalah secara ekonomis pengusaha angkutan batubara akan sulit mendapatkan untung jika hanya boleh mengangkut maksimum 8 ton batubara per truk. Nah, jika aturan batasan tonase ini dilanggar denda yang sangat besar harus diterapkan. Masyarakat juga memiliki posisi tawar yang tinggi, misalnya di Banjarmasin yang jalan umum dekat perumahannya dilalui truk ini dengan memberikan dis-insentif seperti pungutan “dispensasi untuk debu”, “dispensasi untuk kebisingan”, atau “dispensasi hilangnya kenyamanan” dll.

Instrumen jitu lainnya sebenarnya sangat mudah dan tidak berisiko banyak yaitu penutupan stockpile dan pelsus batubara di Banjarmasin yang aksesnya melalui jalan darat. Hanya saja karena berbagai pertimbangan, kebijakan ini terlihat begitu sangat sulit diambil oleh Pemko Banjarmasin. Entahlah. Padahal dengan ditutupnya stockpile dan pelsus batubara di Banjarmasin, tidaklah mungkin ribuan truk batubara akan melintas dari jalanan umum di Tapin, Banjar, Banjarbaru, dan Banjarmasin. Mungkin, jika masyarakat tidak memberikan persetujuaan perpanjangan ijin operasi atau memprotes keberadaan stockpile di sekitar wilayah pemukiman mereka, bisa jadi Pemkot Banjarmasin bisa tergerak untuk mengkaji keberadaan stockpile batubara di kotanya.

Instrumen selanjutnya adalah adanya jaminan kepastian hukum. Maklum, menjelang pergantian anggota DPRD yang terhormat di tingkat provinsi dan pilkada. Pengusaha batubara juga perlu kepastian hukum dalam jangka panjang. Hal ini terkait dengan kepastian masa depan investasi yang mereka tanamkan untuk membangun jalan khusus batubara. Percuma saja saat ini ada perda pelarangan angkutan batubara di jalan umum, jika nantinya di tangan anggota DPRD yang baru malah dibolehkan.

Akhirnya, mari kita belajar melihat kepentingan yang lebih besar, lebih luas, dan berpikir untuk jangka panjang. Di tengah semakin menurunnya kualitas infrastruktur kita (baca: semakin rusaknya infrastruktur kita) seperti jalan dan jembatan, tidaklah elok jika pemerintah menelorkan kebijakan yang semakin memperparah keadaan ini. Semangat memelihara infrastruktur haruslah dimiliki semua komponen: pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Infrastruktur umum seharusnyalah memang untuk mendukung kepentingan publik, untuk sarana pergerakan ekonomi yang lebih luas dan bukan sektoral.

No comments: