Wednesday, May 27, 2009

KALSEL, BATUBARA, DAN KESEJAHTERAAN

Adalah tugas pemerintah pusat dan daerah untuk mendistribusikan manfaat pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki bagi kesejahteraan rakyat tanpa kecuali. Namun yang sering terjadi adalah tidak adanya pendistribusian hasil-hasil eksploitasi sumberdaya alam kepada rakyat kecuali pendistribusian keuntungan tersebut yang berputar kepada: penguasa dan pengusaha. Ironisnya, seakan sudah jamak jika yang pertama kali merasakan semua dampak negatif eksploitasi sumberdaya alam ini adalah mereka yang tidak ikut merasakan keuntungan dari eksplotasi ini.

Potensi cadangan batubara Kalsel sekitar 1.8 milyar ton, terbesar ketiga di Indonesia, dan jika dieksploitasi dengan kecepatan produksi 24 juta ton/tahun, maka masih akan berlangsung sampai lebih dari 70 tahun. Jika ditilik ke belakang, eksploitasi batubara mulai marak pada awal tahun 2000, pada momentum yang tepat: pasar yang luas, harga batubara yang baik, dan euforia otonomi daerah. Pada waktu itu, sangat sulit membedakan pelaku penambangan legal dan ilegal. Sayangnya, hiruk pikuk aktivitas penambangan batubara tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat. Rakyat hanya terima debu jalanan dari truk-truk batubara dan debu batubara. Saat ini, memang telah banyak perubahan, penambangan ilegal sudah tidak nampak lagi. Hanya saja, rakyat masih harus menerima debu batubara dan debu jalanan dari truk-truk batubara yang lewat jalan umum sampai kebijakan larangan pemakain jalan umum untuk angkutan batubara diterapkan.

POKOK MASALAH

Mereka yang seharusnya menerima manfaat terbesar dari usaha pertambangan yang berlangsung adalah masyarakat lokal yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Nah, persoalan saat ini adalah masyarakat belum memperoleh manfaat optimal dari eksploitasi mineral khususnya batubara. Memang usaha pertambangan batubara adalah usaha padat modal, teknologi, dan umumnya tidak padat tenaga kerja. Meskipun beberapa perusahaan pertambangan besar menyerap ribuan tenaga kerja, tetap saja yang diserap adalah tenaga kerja terampil dan profesional. Kualifikasi terampil dan profesional inilah yang sangat sulit dipenuhi oleh penduduk lokal yang tinggal disekitar aktivitas pertambangan dan bahkan mungkin di level provinsi sekalipun, sehingga mereka yang ingin bekerja di perusahaan tambang harus tersingkir dari kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Di satu sisi perusahaan dengan investasi yang besar, yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana investasi tersebut dapat dengan cepat kembali dan hasil investasi dapat cepat pula diperoleh.

Beberapa perusahaan besar memang telah mengembangkan apa yang disebut “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)” namun desain program ini tidak lebih dari program charity semata yang sifatnya insidental semisal bantuan untuk kegiatan pengajian, HUT kemerdekaan dll. Selain itu tidak ada kejelasan berapa besar dari keuntungan perusahaan yang seharusnya dialokasikan untuk program CSR dan CSR lebih banyak dimaknai sebagai usaha promosi atas kebaikan perusahaan dan bukan sebuah tanggung jawab moral yang mesti dilakukan perusahaan. Namun, CSR ini tidak dikenal oleh perusahaan skala menengah yang memiliki ijin KP dari pemkab dan karenanya, perusahaan sekelas KP ini tidak melaksanakannya. Masalahnya, jumlah perusahaan kelas KP jauh lebih banyak daripada perusahaan pertambangan besar.

Kondisi ini bertambah kompleks manakala ternyata pemerintah daerah yang seharusnya, sesuai tugas dan fungsinya mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali, justeru gagal melihat persoalan ini sesuai konteksnya. Pemda utamanya pemkab yang sesuai amanat UU otonomi memiliki kewenangan di bidang pertambangan di daerahnya, saat ini terjebak untuk mengeksploitasi seluruh sumberdaya mineralnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kas pemkab dan bukan berusaha sekeras-kerasnya mendistribusikan keuntungan eksploitasi mineral. Ratusan ijin Kuasa Pertambangan eksplorasi, eksploitasi dan produksi yang diterbitkan pemkab menjadi bukti kuat indikasi ini. Mungkin langkah ini banyak memiliki berbagai pembenaran. Tapi ada satu hal yang pasti, menumpuknya keuntungan di kas pemkab dengan banyaknya ijin KP yang terbit ternyata tidak berkorelasi lurus dengan meratanya kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak masyarakat terutama di sekitar tambang.

SOLUSI

Pertama, masyarakat lokal seharusnya diikut-sertakan dalam pegambilan keputusan apapun yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung di tanah mereka. Memang terdengar klise, namun bukanlah hal yang mustahil dilaksanakan. Penguatan kapasitas masyarakat lokal diperlukan agar masyarakat ini mampu berperan menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Saat ini, posisi tawar masyarakat sangatlah rendah karena berbagai hal seperti: ketidak-tahuan masyarakat akan kandungan kekayaan alam di daerahnya karena minimnya akses informasi, belitan kemiskinan, dan rendahnya pendidikan. Distamben pemkab dan juga pemprov harus berperan aktif menyebarkan informasi sumberdaya mineral kepada masyarakat dan perlu juga diinformasikan mengenai dampak negatifnya jika aktivitas pertambangan dilaksanakan. Dengan demikian masyarakat lokal memiliki informasi yang utuh sebagai bahan mengambil keputusan.

Memang langkah ini bisa memancing para spekulan, utamanya spekulan tanah, untuk beraksi. Sebagai contoh, manakala informasi mengenai potensi coalbed methane (CBM) di Batola diekspose, maka berbondong-bondong para spekulan mulai beraksi membeli tanah di daerah yang menurut para sepekulan akan menjadi lokasi proyek ekplorasi dan eksploitasi CBM. Nah, masyarakat lokal ini perlu juga berhati-hati untuk tidak terbujuk rayuan spekulan tanah ini karena sekali tanah terbeli, maka putuslah benang antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alamnya.

Kedua, mengakhiri selingkuh penguasa-pengusaha. Penguasa disini memang tidak melulu bupati, gubernur ataupun kadis, namun bisa juga “orang yang berpengaruh” lainnya misalnya tokoh parpol, anggota DPRD, dll. Bukanlah hal rahasia jika perselingkuhan ini terjadi dan sudah kasat mata. Perselingkuhan ini akan saling menguntungkan bagi penguasa dan pengusaha namun merugikan bagi masyarakat lokal. Pengusaha akan merasa tidak perlu memperhatikan masyarakat lokal karena merasa sudah berbuat banyak kepada penguasa dan sebagai imbalannya, seluruh aktivitas pengusaha akan dilindungi.

Ketiga, reformasi birokrasi daerah. Distamben baik provinsi maupun kabupaten sebagai instansi teknis pembina dan pengawas aktifitas pertambangan daerah harus dijaga “taring”nya. Untuk menjaga “taring” tetap tajam perlu dihindarkan “perselingkuhan penguasa-pengusaha” agar konflik kepentingan tidak terjadi. Terkadang yang terjadi adalah “perselingkuhan yang terpaksa” karena seringkali kita mendengar keluhan dari pengusaha agar menyetor sekian persen dulu bahkan sebelum proyek dimulai. Tentu reformasi ini sangat sulit dilaksanakan karena akan banyak resistansi dari berbagai pihak. Nah, agar ini dapat terjadi, maka prinsip transparansi mesti sudah diterapkan agar masyarakat luas dapat ikut mengawasi kinerja dinas.

Keempat, penguatan kelembagaan non formal dan masyarakat umum. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat mestinya tidak dipandang sebagai “oposisi” dari berbagai kebijakan pemerintah, namun mestinya dipandang sebagai mitra penting pemerintah dalam proses pembangunan. Kontrol LSM akan semakin mempertajam “taring” dinas teknis atas pengusaha, utamanya yang nakal. Masyarakat umum yang kuat akan semakin kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Adanya rubrik-rubrik seperti surat pembaca, kriing, atau yang sejenis di media massa akan menjadi saluran cepat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan menyampaikan semua uneg-uneg tanpa ada rasa takut.

Kelima, perlunya kesadaran pengusaha dan pemilik modal bahwa semangat jaman saat ini menuntut mereka untuk ikut bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat khususnya di sekitar wilayah aktifitas proyek mereka. Integrasi semangat tanggung jawab sosial perusahaan dengan program pembangunan pemerintah akan berdampak sangat positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal misalnya perbaikan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kesinambungan penghasilan dll. Akhirnya, harapan yang mesti terwujud adalah jangan sampai seluruh batubara di Kalsel habis dieksploitasi namun masyarakatnya masih belum sejahtera

No comments: