Wednesday, July 29, 2009

AKANKAH BENCANA TERUS BERLANJUT? (2006)

Awal tahun 2006, saat sebagian besar manusia di dunia bersuka cita menyambutnya, di sebagian wilayah Indonesia, justru harus menjalani awal tahun ini dengan duka cita. Minggu malam (1/1/2005), banjir bandang menyapu desa-desa di Kecamatan Panti dan Rambipuji, Jember, Jawa Timur. Banjir bandang dimana air bercampur lumpur dan bongkahan batu bergerak turun menyapu daerah-daerah rendah dalam kecepatan tinggi ini dalam istilah geologi dikenal sebagai debris flow. Kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana jenis ini bisa sangat mengerikan, seperti little tsunami darat. Tayangan media televisi dan foto-foto di koran-koran menunjukkan betapa massifnya kerusakan yang ditimbulkannya. Batu-batu besar, pohon-pohon, jalan, rumah, jembatan seakan tidak berdaya apa-apa di hadapan air, dihanyutkan, ditabrakkan dan dilemparkan begitu saja. Bisa kita bayangkan bagaimana jika air semacam ini menghantam tubuh ringkih manusia, badan kita.
Akhir tahun sebelumnya kita baru saja mengenang setahun terjadinya tsunami dahsyat di Aceh dan Sumatera Utara, sekarang bencana itu datang lagi di wilayah lain dalam wajah berbeda namun menghasilkan duka yang sama. Dan, lebih menyesakkan lagi bagi penulis, belum selesai tulisan ini dibuat, bencana yang lebih besar lagi terjadi di Banjarnegara pada Rabu (4/1/2005), bencana tanah longsor (= landslide) menimbun ratusan rumah penduduk dan mengubur hidup-hidup penghuni di dalamnya. Benarkah bencana ini hanya sebuah awal dan akan benar-benar berlanjut selama 2006? Setiap kali terjadi bencana alam, setiap itu pula penulis tergerak untuk menulis mengenai segala aspek bencana tersebut agar setiap orang bisa sedikit memberi perhatian terhadap ancaman bencana yang mungkin tersimpan di sekitar lingkungan kita. Jika perhatian sudah diberikan, tentu akan muncul kewaspadaan untuk mengantisipasinya, dan selanjutnya tragedi, musibah karena bencana alam tidak memakan korban – karena kekuatan alam tidak bisa dilawan. Pengalaman pribadi penulis bersentuhan langsung dengan bencana alam terutama tanah longsor terjadi sewaktu menjadi anggota Tim Studi Bencana Alam Tanah Longsor UGM, melihat sendiri jenazah digali dari timbunan lumpur tebal seminggu setelah tanah longsor menimbun rumah-rumah di Desa Windusakti, Kecamatan Salem, Brebes, Jawa Tengah akhir tahun 2000. Menyedihkan. Dan paradoks-pun ternyata terjadi. Justru karena tragedi tadi terjadi, penulis bisa lulus Sarjana Geologi dengan menjadikan musibah longsoran di Windusakti sebagai studi kasus untuk skripsi. Namun sungguh, tidak ada seorangpun yang ingin bencana tersebut terulang lagi. Tidak bagi saya, anda dan siapapun bahkan dalam mimpi kita sekalipun. Namun, 6 tahun kemudian, tahun ini, bencana yang sama kembali menyapu di tempat lain. Dua kasus bencana alam – di Jember dan Banjarnegara – terjadi pada waktu yang sama, dengan karakteristik lereng yang hampir sama, namun sedikit berbeda bentuknya.

BANJIR BANDANG JEMBER
Curah hujan yang tinggi dan gundulnya lereng Pegunungan Argopura Jember dituding sebagai penyebab terjadinya musibah banjir bandang di jember. Memang, ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya musibah tersebut, faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud antara lain : karakteristik geologi (material geologis penyusun lereng (batuan/ rocks atau tanah/ soil), topografi dan struktur geologi), hidrologi lereng dan kondisi lereng (berhutan lebat, gundul, ditanami tanaman, banyak bangunan perumahan, persawahan dll). Adapun faktor eksternal antara lain : iklim, hujan dan hasil aktivitas manusia. Sulit menentukan apakah faktor eksternal atau internal yang paling dominan sebagai penyebab, lebih mudah untuk menyimpulkan bahwa masing-masing faktor saling terkait dan bekerja-sama menyebabkan terjadinya musibah banjir bandang.
Lereng-lereng sepanjang selatan Jawa merupakan lereng dari pegunungan vulkanik yang memiliki tanah tebal nan subur. Rangkaian gunung-gunung ini merupakan hasil proses subduksi lempeng Samudera Hindia ke dalam lempeng Eurasia yang berada di selatan Jawa. Zona subduksi ini sebenarnya memanjang mulai dari sebelah selatan Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Gerakan lempeng ini masih aktif hingga saat ini. Salah satu akibatnya adalah gempa tektonik baik yang memicu tsunami ataupun tidak. Adapun proses tumbukan antar lempeng ini dalam jangka panjang membentuk pegunungan di lempeng Eurasia atau di utara zona subduksi. Semua gunung dalam status aktif meskipun tidak menunjukkan aktivitas vulkanik. Istilahnya masih tidur. Lereng-lereng pada zona inilah tempat terjadinya musibah banjir bandang di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara. Material penyusun lereng dari deposit vulkanik semacam ini menurut penelitian Sarosa (1992) dan Karnawati (1996) paling banyak terjadi tanah longsor (landslide).
Faktor penyebab internal selanjutnya adalah hidrologi lereng dan kondisi permukaan lereng. Hidrologi lereng dipengaruhi oleh curah hujan yang turun, material penyusun lereng, bentuk lereng dan ada tidaknya vegetasi penutup. Hidrologi lereng mencakup proses aliran permukaan dan bawah permukaan. Aliran bawah permukaan terjadi saat air hujan masuk ke dalam lereng melalui proses infiltrasi yang kemudian meningkatkan kandungan air, kenaikan muka air tanah, horison permeabilitas dan konduktivitas hidrolika. Aliran permukaan terjadi jika tidak ada infiltrasi ke dalam lereng baik karena lereng telah jenuh air, tiadanya vegetasi penutup atau curah hujan dan durasi yang turun sangat tinggi. Adapun topografi lereng berperan terutama pada proses hidrologi dan kestabilan lereng. Lereng-lereng yang curam – untuk material penyusun sama – akan kurang stabil dibandingkan dengan lereng landai.
Faktor eksternal penyebab terjadinya musibah banjir bandang ini adalah iklim, hujan, dan adanya aktivitas manusia. Iklim tropik basah mempercepat proes pelapukan pada lereng-lereng batuan vulkanik sehingga menghasilkan soil/tanah yang tebal dan subur di permukaan lereng. Batuan-batuan yang mulanya massif dan kompak dengan cepat terisi air pada rekahan-rekahannya yang memicu terjadinya proses fisika dan kimia dalam batuan yang akhirnya terbentuk tanah hasil pelapukan. Aktivitas manusia pada lereng, baik di bawah, di punggung dan di puncak lereng berakibat langsung maupun tidak pada percepatan terjadinya banjir bandang ini. Pengaruh aktivitas manusia dapat mengurangi kemampuan infiltrasi lereng, meningkatkan aliran permukaan, merubah struktur tanah, dan menaikkan tegangan geser pada lereng.
Di lihat dari besarnya aliran air dan banyaknya material yang terbawa banjir seperti batang-batang pohon, batu-batu besar, kerikil, lumpur yang campur aduk (debris) menandakan area lereng di hulu yang longsor meliputi daerah yang luas. Lereng-lereng yang longsor ini bercampur dengan besarnya aliran permukaan – karena curah hujan yang tinggi – mengalir ke bawah dengan kecepatan tinggi dan bersatu ke lembah-lembah sungai yang lebih besar dan pada sungai utama akan terjadi akumulasi aliran air dan material yang memiliki daya rusak luar biasa. Kita bisa saksikan dari banyaknya lumpur, batu-batu dan batang-batang pohon terendapkan di lembah sungai yang menjadi semakin lebar. Daya rusak aliran campur aduk ini yang juga memutus jembatan sehingga sebagian warga di Kecamatan Panti terisolasi selama beberapa hari.

TANAH LONGSOR BANJARNEGARA
Kondisi alam di lokasi bencana tanah longsor sama dengan lokasi banjir bandang di Jember, merupakan lereng pegunungan vulkanik yang memanjang di bagian selatan Jawa. Lereng-lereng curam dengan tanah tebal dan subur pada lerengnya. Yang sedikit membedakan adalah, bencana tanah longsor ini berasal dari lereng Gunung Pinihan dalam skala yang sangat besar dan langsung menimbun perkampungan warga di bawahnya. Artinya, perkampungan di desa yang terkena bencana (Desa Sijeruk) berada lebih di bagian hulu dibandingkan dengan kasus banjir bandang Jember, namun skala longsoran jauh lebih besar sehingga langsung memiliki daya rusak yang luar biasa. Adapun di Jember, longsoran-longsoran terjadi pada bagian hulu dalam skala lebih kecil namun meliputi areal yang sangat luas dan baru memiliki daya rusak setelah menyatu di sungai utama.
Kasus-kasus tanah longsor (landslide) di Jawa dan Sumatera dipicu (triggered) oleh air hujan. Secara alami lereng-lereng pegunungan di Sumatera dan Jawa memang memiliki cacat bawaan yaitu cenderung untuk longsor, sehingga dengan sedikit pemicu (hujan) longsor akan terjadi. Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan pada lereng diklasifikasikan menjadi dua: (1) faktor yang menyebabkan naiknya tegangan dalam lereng dan (2) faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan kekuatan lereng. Kedua klasifikasi di atas dikontrol oleh : kondisi lereng, iklim (curah hujan), material penyusun lereng, hidrologi lereng dan faktor lain. Lereng vulkanik curam (500 – 600) seperti yang kedua daerah terjadinya musibah di atas, umum untuk terjadi longsoran tipe debris slides dimana material lereng yang lapuk dan batu-batuan longsor ke bawah bersama air yang terkandung dalam lereng.
Lereng-lereng pegunungan, karena gravitasi, selalu berkecenderungan untuk bergerak ke bawah guna mencapai kestabilan baru sesuai kondisi saat itu. Artinya jika terjadi perubahan kondisi baik karena faktor alami maupun karena aktivitas manusia, selalu akan direspon lereng untuk mencapai kesetimbangannya lagi. Lereng-lereng yang dulu diklasifikasikan merah atau bahaya, sebagian telah longsor dan setelah itu saat ini dalam kondisi stabil, namun perlu diwaspadai daerah merah yang sampai saat ini belum longsor. Selanjutnya, lereng yang dulunya masih belum diklasifikasikan merah bisa jadi saat ini telah masuk dalam kategori bahaya. Daerah-daerah mana saja yang saat ini termasuk daerah bahaya longsor sebenarnya sudah diketahui dan dipetakan. Jadi yang perlu diintensifkan adalah mensosialisasikan daerah-daerah tersebut kepada masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kewaspadaan untuk mengantisipasinya.
Diperlukan kebijakan dalam menata daerah rawan longsor seperti ini, karena umumnya daerah ini sangat subur, dan sangat tidak mungkin memaksa masyarakat untuk pindah dari sumber penghidupannya. Namun, belajar dari kasus longsoran di Kecamatan Salem tahun 2000, saat ini mereka telah memiliki kewaspadaan terhadap bencana tanah longsor. Masyarakat sementara menyingkir dulu ke lokasi yang lebih aman saat melihat tanda-tanda bencana akan datang, diantaranya hujan yang tinggi dan terus menerus, terjadi retakan-retakan di atas lereng, adanya rembesan di bawah lereng dll. Ternyata mereka berhasil selamat dari musibah, meskipun harus merelakan rumahnya tertimbun. Tanda-tanda semacam inilah yang harus terus disosialisasikan, diingatkan berulang-ulang sehingga jangan sampai terjadi musibah dulu baru kemudian kita belajar.

No comments: