Wednesday, July 15, 2009

CBM GAS MAUT YANG EKONOMIS



Gas metana batubara menampakkan sisi lainnya yang berbahaya yaitu sebagai pemicu meledaknya tambang batubara bawah tanah Bukit Bual, Kecamatan Koto Tujuah, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat 16 Juni lalu. Gas metana batubara (coalbed methane) yang memicu ledakan ini tidaklah berbeda dengan gas metana batubara yang keluar dari sumur bor penduduk di Barambai dan Wanaraya, Batola. Gas di Batola ini rencananya akan dieksplorasi dan diproduksi secara komersial dan telah ada beberapa perusahaan yang memiliki wilayah kerja gas metana di Batola. Tidak berbeda di sini maksudnya adalah sumber dan jenis gas metananya sama, yaitu bersumber pada lapisan batubara dan tipe dan komposisi gasnya yakni metana (CH4). Yang membedakannya adalah proses terlepasnya gas metana ini dari batubara. Pada peristiwa meledaknya terowongan tambang batubara bawah tanah di Sijunjung, keluarnya gas metana ini sebenarnya tidak diinginkan, namun karena setiap aktivitas penggalian batubara selalu menyebabkan gas metana terlepas dan karena berada di lorong bawah tanah, maka gas metana ini dapat terperangkap di lorong-lorong terowongan bagian atas. Nah, jika gas ini jika terperangkap dalam suatu ruang tertutup dengan konsentrasi tertentu maka akan berisiko memicu kebakaran dan ledakan yang dahsyat meski hanya dengan percikan logam sekalipun. Gas metana ini secara lebih spesifik dikenal sebagai Coal Mine Methane (CMM), karena ia terlepas sebagai akibat aktifitas penggalian batubara pada penambangan batubara bawah tanah.
Sementara itu, gas metana yang keluar dari lubang sumur bor di Batola tidak berpotensi meledak meskipun tetap berpotensi mudah terbakar. Hal ini karena gas metana langsung terlepas ke udara bebas. Ketika di udara terbuka, gas metana langsung “hilang” ke atmosfer. Ini terbukti saat pengukuran konsentrasi gas metana di sekitar sumur bor semburan Barambai, dimana konsentrasi tertinggi hanya pada beberapa cm dari permukaan semburan, namun di sekitarnya dalam radius 1 m, gas metana yang terdeteksi sudah sangat kecil sehingga kemungkinan terjadinya ledakan cukup kecil. Bahkan karena sifat mudah hilang di udara bebas, waktu pengambilan sampel gas metana perlu perlakuan khusus untuk menangkap metana. Jika ditelusuri lanjut, gas metana ini bersumber pada lapisan-lapisan batubara yang berada pada kedalaman di bawah 500 m. Gas metana ini dapat bermigrasi ke permukaan tanah melalui rekahan-rakahan alami (patahan geologi) ataupun buatan (sumur bor, galian).

GAS MAUT DAN KESELAMANTAN KERJA
Dalam peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan, Kepmen Pertambangan dan Energi nomor 555 tahun 1995, gas metana pada tambang batubara bawah tanah dikategorikan sebagai gas berbahaya yang harus mendapat perlakuan khusus, terutama jika konsentrasinya telah mencapai 0.25% pada setiap bagian manapun di bawah tanah. Adapun jika suatu tambang telah mengalami kebakaran atau ledakan gas metana, maka tambang tersebut dapat dikategorikan sebagai tambang berbahaya gas (pasal 490). Semua hal yang terkait masalah K3 tambang batubara bawah tanah dibahas lengkap di Bab IX Kepmen ini. Jadi semua ketentuan K3 secara detil dijelaskan di sini, misalnya tentang pemeriksaan, pencegahan penyulutan gas metana, evakuasi, ventilasi, sistem pemantauan dll. Semua ketentuan ini wajib dilaksanakan oleh operator tambang batubara bawah tanah. Nah, jika ada ketentuan yang tidak ditaati maka resiko terjadinya kebakaran dan ledakan tentunya akan menjadi sangat besar.
Sangat diyakini bahwa ketentuan-ketentuan keselamatan ini tidak diterapkan secara benar di tambang batubara bawah tanah Sijunjung yang meledak minggu lalu dan menewaskan lebih dari 30 orang. Memang, implementasi dari ketentuan keselamatan ini adalah meningkatnya biaya produksi, misalnya untuk membangun ventilasi yang cukup harus membeli blower yang mungkin tidak terjangkau oleh operator tambang skala kecil. Blower ini berfungsi memasok udara ke lorong-lorong tambang dan permuka kerja (bagian muka batubara yang digali) sehingga gas metana tidak sempat terakumulasi karena dapat terus-menerus dikeluarkan dari lubang tambang. Tipikal tambang-tambang kecil untuk bahan galian apapun adalah diabaikannya aspek keselamatan kerja. Hal ini bukan dikarenakan mereka tidak mau, namun lebih banyak terkait masalah biaya yang mesti ditanggung penambang jika menerapkan ketentuan keselamatan kerja.
Dari perspektif ini, tidak bijak rasanya menjadikan para penambang skala kecil sebagai kambing hitam. Yang lebih bijaksana adalah bagaimana membimbing penambang ini agar paling tidak menerapkan standar minimal keselamatan kerja. Pertanyaannya, siapa yang harus membimbing dan sudahkah mereka menerima bimbingan ini? Tentu yang bertanggung jawab untuk membimbing setiap usaha pertambangan di daerah adalah pihak yang mengeluarkan ijin pertambangan, yang di masa otonomi ini di tangan Pemerintah Kabupaten, khususnya Dinas Pertambangan setempat. Dan apakah penambang sudah menerima bimbingan, teguran, pengawasan dst, Pemkab setempatlah yang mesti menjawab.
Ada benang merah jika kita kaitkan kejadian ledakan tambang batubara bawah tanah Sijunjung dengan operasi tambang batubara di Kalsel, yaitu aspek K3 plus lingkungan. Setelah era otonomi, Pemkab berlomba-lomba menerbitkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) yang hingga kini berjumlah 300 ijin KP. Pertanyaannya, mampukah (secara kualitas dan kuantitas personil) Pemkab penerbit ijin KP ini melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap operasi tambang yang dilakukan oleh pemilik KP-KP ini untuk aspek K3 dan lingkungan? Jika jawabannya ya, tidak ada masalah, namun jika jawabannya tidak/belum mampu, maka jika terjadi insiden terkait K3 dan lingkungan, jelas tidak boleh pemilik KP-KP ini dijadikan kambing hitam tunggal. Artinya, harus ada kejelasan atas pertanyaan apakah KP-KP ini telah diawasi dengan benar?

NILAI EKONOMIS
Seperti disinggung sebelumnya, gas metana batubara ini (baik sebagai CMM ataupun CBM) dapat bernilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik maupun bahan bakar kendaraan (setelah diproses menjadi Compressed Natural Gas (CNG) atau Adsorbed Natural Gas (ANG)). Dalam waktu tidak lama lagi, Indonesia akan mengalami defisit gas, bahkan saat ini perusahaan pupuk seperti pupuk Sriwijaya telah mengalami kekurangan pasokan gas. Keberadaan CBM tentunya strategis untuk menambah pasokan gas kita di masa mendatang.
Apakah jika gas metana batubara ini dimanfaatkan, maka aspek bahanya juga akan hilang dengan sendirinya? Tentu saja tidak, sisi bahayanya akan tetap mengintai setiap saat, tidak dapat dihilangkan. Sama saja seperti bensin dalam kendaraan bermotor kita dimana ia dapat terbakar setiao saat jika kita tidak hati-hati dalam penanganannya. CBM setelah diproduksi dari sumur-sumur produksi maka harus disimpan pada tangki penyimpan khusus dan dengan penanganan khusus pula. Semua teknologi, cara-cara penanganan dan standar keselamatan untuk menangani gas ini mulai dari yang aman telah tersedia, masalahnya adalah mau tidak dan mampu tidaknya kita memenuhinya. Yang dapat meledak sebenarnya tidak hanya CBM, gas elpiji (Liquid Petroleum Gas/LPG) yang sehari-hari sangat dekat dengan kita juga memiliki potensi bahaya yang sama. Insiden-insiden tabung elpiji dan bahkan depot elpiji yang meledak sudah jamak terjadi. Harapannya tentu kita dapat memanfaatkan gas metana batubara dan terhindar dari bahaya yang mengintai darinya.

No comments: