Wednesday, July 29, 2009

BENCANA DAN PEMBANGUNAN (ditulis 2006)

Banjir dan longsor yang merenggut nyawa kembali melanda Pulau Jawa, kali ini terjadi di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Kamis (20/4/06) dini hari. Bencana ini adalah yang terbesar yang pernah terjadi di Kabupaten lintas selatan Jatim. Hampir semua wilayah Kota Trenggalek terendam (Radar Banjarmasin, 21/4/06). Korban tewas dilaporkan mencapai 14 orang, 6 orang belum ditemukan dan Kota Trenggalek sempat menjadi kota mati karena sambungan listrik dan telepon terputus.
Bencana terjadi silih berganti di nusantara, dari ujung barat sampai timur, dari abrasi pantai sampai tsunami yang dahsyat, dari banjir kampung hingga banjir bandang, dari longsor kecil sampai yang luas, dari tanah retak hingga gunung berapi. Dibalik indahnya panorama negeri kita, tersimpan segudang potensi bencana. Pertanyaan Bung Ebiet G Ade, mengapa di tanahku terjadi bencana dalam lagu Berita kepada Kawan tentu patut direnungkan. Dan seharusnya tidak hanya cukup itu, perlu tindakan lebih konkrit agar jawaban kita kiranya bukan hanya retorika, namun berupa langkah nyata menghadapi bencana. Beberapa kali headline berita dan tulisan mengenai bencana dimuat di koran ini, cukup menggambarkan betapa kata ”bencana” begitu dekat dengan kita.
Mengapa bencana terjadi menjadi pertanyaan yang jamak setelah bencana terjadi, namun seringkali menjadi absurd kemana arah pertanyaan tersebut. Bukannys mencari pencerahan agar tidak ada lagi korban besar di masa mendatang tetapi seringkali pertanyaan itu hanyalah suatu ”kegelisahan” standar yang akhirnya berhenti setelah didapatkan jawaban pendek. Setelah itu? paling kita manggut-manggut dan berkata, ” O...oo begitu ya? dan selesai. Jika di masa mendatang terjadi lagi bencana yang sama, kita ajukan pertanyaan yang sama dan begitu didapat jawaban pendek, selesailah sudah. Akar masalah tidak pernah tersentuh apalagi terselesaikan. Terkadang justru kita tidak pernah tahu dan sepakat mengenai akar masalah kebencanaan, sehingga yang sering kita dapat lakukan adalah saling tuding satu pihak dengan pihak lain.

BAHAYA DAN BENCANA ALAM
Bahaya alam adalah suatu fenomena alamiah yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia. Sedangkan bencana alam adalah kejadian alam yang mengakibatkan kerugian bagi manusia. Badai di laut lepas jauh dari aktivitas manusia adalah bahaya alam, tetapi bukan bencana bagi kita karena tidak menimbulkan kerugian dan korban. Longsor di pegunungan di pedalaman hutan tetap dipandang sebagai bahaya alam sepanjang tidak menimbulkan kerugian. Lelehan lava pijar yang dimuntahkan gunung berapi bukanlah bencana jika tidak merugikan. Interaksi manusia dengan alam adalah termasuk interaksi kehidupannya terhadap bahaya. Longsor di lereng hutan yang semula hanyalah proses alami lereng biasa, akan menjadi bencana manakala terjadi perubahan tata guna lahan akibat berbagai aktivitas manusia. Longsor yang semula bersifat lokal berubah menjadi merata dan masif, sehingga berubah menjadi perusak yang mengerikan bersama dengan aliran banjir bandang.
Bencana tidak memilah-milih tempat kejadian. Sebagai salah satu fenomena alam, bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Faktor-faktor alami yang berbeda antara satu negara dengan negara lain berimplikasi pada perbedaan jenis dan karakter bencana yang mungkin terjadi. Namun bisa juga suatu negara dilanda satu jenis bencana yang sama dengan intensitas yang hampir sama tetapi korban yang ditimbulkan berbeda. Sebagai contoh adalah gempa di Bam, Iran dan di San Fransisco, USA hampir sama kekuatannya, namun korban yang tewas di Iran jauh lebih banyak. Kenapa? Ternyata banyak bangunan rumah di Bam, Iran banyak yang terbuat dari bata dan tanah liat sehingga tidak terlalu kuat saat getaran gempa terjadi. Adapun di San Fransisco bangunannya cukup kuat sehingga saat gempa melanda, masyarakatnya masih punya sedikit waktu untuk menyelamatkan diri sebelum tempat huniannya roboh. Di sini jelas bahwa, bahaya yang sama belum tentu mengakibatkan luka bencana yang sama. Mengenali jenis, karakter dan sebaran bahaya alam merupakan usaha untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak yang merugikan darinya. Disinilah urgensi manajemen bencana
Paling tidak ada 3 (tiga) aspek penting dalam kebencanaan. Pertama adalah bahaya, kedua aspek elemen apa saja yang beresiko dan terakhir yaitu tingkat kerentanan terhadap bahaya. Bahaya-bahaya alam yang dapat menyebabkan bencana dapat dikategorikan menjadi : (1) bahaya geologi seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor dan gerakan tanah, (2) bahaya iklim seperti badai tropis, banjir dan kekeringan serta (3) bahaya lingkungan misalnya polusi, kebakaran hutan, hilangya vegetasi, wabah hama dll. Adapun elemen-elemen yang beresiko mengalami kerugian akibat bahaya-bahaya di atas bisa manusia, infrastruktur, harta benda fisik, sosio-ekonomi, sumberdaya pertanian, peternakan dan perikanan dll. Tingkat kerentanan adalah tingkat kerugian yang akan diderita setiap elemen yang beresiko bila bahaya terjadi. Bangunan di bantaran sungai akan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi bila terjadi banjir dibandingkan di daerah tinggi. Bangunan dari bata dan tanah liat akan lebih rentan terhadap bahaya gempa dibanding bangunan yang dirancang tahan gempa. Desa yang dekat dengan puncak erupsi gunung berapi akan rentan terhadap bahaya awan panas dan lahar dibanding desa di kaki gunung.

PEMBANGUNAN
Tujuan dari pembangunan adalah terciptanya kemakmuran bagi seluruh warga negara. Pembangunan ekonomi harusnya dapat dirasakan merata oleh seluruh rakyat. Artinya kemiskinan harus direduksi secara konsisten dengan pembangunan. Kenapa? Karena biasanya mereka yang rentan terhadap bahaya adalah mereka yang miskin secara ekonomi. Bagaimana mereka membangun rumah tahan gempa jika untuk makan saja sudah sangat sulit? Bagaimana kita meminta mereka meninggalkan rumahnya di bantaran sungai jika dalam kesehariannya mereka tergantung terhadap sungai? Sedangkan kita (baca : pemerintah) tidak mampu menyediakan sarana air bersih yang layak. Kemampuan ekonomi masyarakat yang cukup tangguh akan memperkuat kemampuan masyarakat untuk melindungi diri dan harta benda mereka sendiri dari bahaya-bahaya alam.
Pembangunan juga harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bahaya-bahaya alam. Bahaya-bahaya alam tidak bisa dicegah karena memang itu tidak mungkin. Hal realistis yang bisa dilakukan adalah memasukkan pertimbangan bahaya dalam setiap program pembangunan. Pemerintah Jepang mengalokasikan dana lebih dari 2 miliar US dollar setiap tahun untuk mitigasi dan kesiapan bencana. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari jumlah keuntungan pemerintahan dari separuh bangsa-bangsa di dunia. Pemerintah kita tentu tidak harus membelanjakan uang sebanyak itu untuk menghadapi bencana. Melakukan pencegahan kebocoran dana-dana pembangunan setiap tahun sudah cukup membantu. Tidak perlu diceritakan rekor kebocoran dana pembangunan kita tiap tahun, pun juga tidak perlu dijelaskan seberapa besar prosentase proyek-proyek pembangunan yang tidak sesuai bestek-nya. Contoh sederhana adalah jalan. Bagaimana bisa berlangsung proses evakuasi yang cepat jika jalan untuk jalur evakuasi rusak berat? Salah-salah selamat dari bahaya alam dan justeru tidak selamat karena waku dievakuasi terjadi kecelakaan karena jalannya berlubang besar. Mungkin saja waktu proyek pembangunan jalan kualitasnya dikurangi atau saluran airnya tidak dibuat. Kenapa? Bisa saja anggaran telah disunat sana-sini.
Kebijakan pembangunan yang salah juga dapat menimbulkan masalah. Misalnya suatu kawasan resapan air (recharge area) dijadikan kawasan pembangunan villa-villa mewah, sehingga seiring berjalannya waktu, tingkat aliran permukaan semakin tinggi, akibatnya di dataran rendah terjadi banjir dalam skala luas. Ada juga pengusaha dengan ijin penguasa pengin mendapat untung sebesar-besarnya, mereka membangun perumahan di kawasan yang rawan longsor dan gerakan tanah, dan hal ini tidak dijelaskan kepada konsumen. Akibatnya rumah-rumah tersebut retak-retak dan rusak berat karena tanah di bawahnya bergerak. Dalam era otonomi, banyak kebijakan yang dianggap hanya mengejar target PAD saja tanpa menimbang dan menghitung potensi bahaya lingkungan. Misalnya di sektor pertambangan, kehutanan maupun perkebunan. PAD mungkin saja bertambah secara signifikan, namun jika bahaya lingkungan semacam kekeringan, banjir, maupun desertifikasi menjadi semakin sering, ya hasil akhirnya tidak baik. Memang bahaya ini tidak akan dirasakan sekarang, namun suatu saat akan terjadi. Tegakah kita membiarkan keturunan kita menderita kelak?
Jelas di sini betapa ternyata ada hubungan antara pembangunan dan bencana. Pembangunan yang benar dapat secara nyata mereduksi kerentanan masyarakat terhadap bahaya alam, namun kebijakan yang salah akan dapat meningkatkan potensi resiko kerugian akibat bahaya alam.
Indonesia ternyata tidak sendirian dalam menghadapi bencana alam. Tahun 1990-an ditetapkan sebagai Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam oleh PBB. Tujuannya adalah mengurangi kematian, kerusakan harta benda dan gangguan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh bencana alam. Dalam resolusi ini, pemerintah di semua negara diminta memformulasikan program-program mitigasi bencana nasional dengan menggabungkan cakupan ekonomi, pemanfaatan lahan dan kebijakan lain ke dalam program-program pembangunan nasional. Proyek-proyek yang didanai oleh UNDP (United Nation Development Program) juga dipastikan untuk dapat mendorong negara-negara di dunia untuk membuat kesiapan bencana sebagai bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima bantuan ini. Bahkan Indonesia mendapat perhatian dan bantuan luar biasa dari PBB dan komunitas internasional pasca terjadinya tsunami Aceh. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah ini mengimplementasikannya. Hanya saja saya kok ragu ya, kalau semua dana bantuan benar-benar digunakan untuk merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh. Saya cuma yakin suatu saat akan ketangkep juga orang-orang yang menilep dana bantuan, mereka yang tega memancing di air keruh. Ah semoga tidak.

Didik Triwibowo
Geologist, Staf Distamben Prov Kalsel
Email : d12k3w@yahoo.com

No comments: