Wednesday, July 29, 2009

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) (ditulis 2006)

Ironis. Itu kata yang tepat untuk saya katakan saat melihat kenyataan betapa rendah kepedulian perusahaan pertambangan yang berada di Kalimantan Selatan terhadap kemajuan pendidikan di Kalsel. Kesimpulan ini mungkin terlalu terburu-buru atau mungkin ada yang menanyakan apa hubungan antara perusahaan pertambangan di Kalsel dengan pendidikan?. Kesimpulan di atas saya ambil setelah melihat minimnya respon perusahaan-perusahaan pertambangan baik pemilik ijin PKP2B dan KP maupun Sub-Kontraktornya saat SMK (Sabumi) Pertambangan, Banjarbaru memohon (benar-benar memohon) untuk dapat melaksanakan program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di perusahaan tersebut. PSG dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari kurikulum SMK yang harus dan wajib dipenuhi dan biasanya waktu pelaksanaannya pada semester ganjil untuk siswa kelas XII (kelas 3). Selama satu semester tersebut siswa hanya menjalani PSG dan nilai raportnya hanya berisi nilai hasil PSG saja. Jadi jika PSG tidak dapat dilaksanakan maka otomatis nilai raportnya akan kosong. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa pentingnya PSG bagi siswa, guru maupun sekolah. Nah, karena SMK dengan program keahlian geologi pertambangan, maka tentu saja pelaksanaan PSG-nya pada perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada di Kalimantan Selatan.
Minimnya respon dari perusahaan-perusahaan tersebut terlihat dengan sedikitnya balasan surat kepada SMK (Sabumi) Pertambangan atas surat permohonan pelaksanaan PSG. Dari 34 (tiga puluh lima) surat permohonan PSG, tercatat hanya beberapa buah surat balasan dari perusahaan yang kami terima, itupun tidak semuanya bisa menerima siswa untuk melaksanakan PSG. Padahal, untuk tahun ini siswa SMK (Sabumi) Pertambangan yang wajib melaksanakan PSG hanya berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, sehingga jika ke-34 perusahaan pertambangan dan sub-kontraktornya yang ada di Kalsel menerima 1 (satu) saja siswa SMK Sabumi, maka akan ada kelebihan tempat. Namun, faktanya setelah hampir 2,5 bulan menunggu ternyata masih ada 8 (delapan) siswa yang masih belum mendapat tempat untuk melaksanakan PSG. Pertanyaan kecilnya adalah, apakah begitu merepotkan atau memberatkan keuangan perusahaan apabila menerima satu atau dua siswa untuk PSG selama 2-3 bulan? Adapun pertanyaan besarnya adalah, apakah rendahnya respon terhadap hal ini memang mencerminkan rendahnya tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) perusahaan-perusahaan pertambangan di Kalsel?
Corporate social responsibility (CSR)
Istilah semacam Community Development (CD) mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita, namun sebagian besar dari kita (masyarakat, perusahaan maupun pemerintah) memaknai CD hanyalah sebagai suatu kegiatan perusahaan seperti bakti sosial, santunan, bantuan ini-itu, dan bermacam door-prize saat ada event-event penting seperti pameran pembangunan atau peringatan Agustusan. Jadi CD dimaknai hanya sekedar charity atau kemurahan perusahaan semata dan bagi perusahaan itu dianggap sudah cukup sebagai bukti bahwa mereka memiliki kepedulian sosial atau telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sekitarnya. Apakah benar demikian? Tentu saja tidak. Itu saja tidak cukup.
Pelaksanaan CD memang dapat dimaknai sebagai bentuk pengejawantahan dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar, namun jika pelaksanaanya hanya berupa hal-hal yang berbau charity tentu tidak akan memberikan perubahan berarti pada masyarakat sekitar. Kita ambil gambaran tentang kondisi masyarakat sekitar operasi penambangan perusahaan besar. Kita dapat mengamati apakah ada perubahan kesejahteraan mereka dengan kehadiran korporat di wilayahnya? Atau justru yang terjadi masyarakat yang mulanya miskin, semakin terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan oleh kehadiran perusahaan?. Jika ini yang terjadi, maka dapat dipastikan perusahaan tersbut tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan secara baik terhadap masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan alih-alih melakukan pemberdayaaan masyarakat sekitar dengan melakukan program CD yang baik, mereka justru cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
CSR dimaknai sebagai kewajiban perusahaan untuk sensitif terhadap segala kebutuhan stakeholder saat beroperasi. Stakeholder di sini adalah mereka yang dapat terkena pengaruh atau dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan perusahaan, seperti pekerja, penduduk lokal, organisasi kemasyarakatan, investor, pelanggan, dan lain-lain. Memang, saat ini, CSR masih sebatas wacana di Indonesia. Namun jika mengacu pada hasil pertemuan antar korporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan 'Corporate Social Responsibility-Concepts and Solutions', maka pada intinya CSR merupakan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha. Artinya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk menghindar dari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sekitar. Selanjutnya, perusahaan perlu menimbang-nimbang setiap kebijakan yang akan diambilnya tidak hanya berdasar pada faktor keuntungan semata namun juga memasukkan pertimbangan sosial dan lingkungan.
Perusahaan yang hanya mengejar keuntungan semata dalam menjalankan operasinya adalah perusahaan dengan paradigma lama yang telah usang. Perusahaan usang seperti ini akan selalu menemui kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya karena tidak akan pernah mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya. Padahal masyarakat sekitar sesungguhnya merupakan modal sosial yang penting bagi perusahaan untuk menjamin kelangsungan usahanya. Jika perusahaan mau sedikit memperhatikan dan mengelola modal sosial ini, maka efek ganda yang tercipta akan sangat banyak. Misalkan, dengan melaksanakan program CD yang berkesinambungan, tidak hanya perusahaan diuntungkan dengan besarnya dukungan masyarakat sekitar yang besar, namun juga akan mampu menggerakkan roda ekonomi mikro, meningkatkan kemampuan SDM lokal, dan peluang-peluang sosial-ekonomi lainnya di masyarakat. Tentu saja program CD nya bukan sekedar bagi-bagi bantuan, namun program pemberdayaan yang memacu masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi alam lokalnya secara optimal dan berkelanjutan, sehingga nantinya setelah perusahaan tersebut tidak lagi beroperasi maka masyarakat siap melanjutkan hidupnya secara mandiri. Itu kerangka besarnya.
Dari aspek hukum, memang selama ini CSR bersifat sukarela (voluntarily), jadi memang wajar jika pelaksanaannyapun berdasar persepsi masing-masing perusahaan. bebas. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. Tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. (OKY SYEIFUL R. HARAHAP, 2006). Dengan adanya ketegasan mengenai CSR di Indonesia, maka perusahaan akan berpikir seribu kali jika ingin mengabaikannya. Namun, tentu saja sebenarnya yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran internal perusahaan bahwa pelaksanaan CSR bukanlah suatu beban keuangan namun CSR adalah suatu investasi sosial yang nantinya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan di masa mendatang, meskipun keuntungan tersebut tidak dalam bentuk finansial.
Jika kita tarik benang merah, perusahaan pertambangan di Kalsel ternyata memiliki kesadaran yang rendah dan kepedulian sangat lemah terhadap pelaksanaan CSR khususnya di bidang peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) lokal di Kalsel. Tiadanya balasan sama sekali atas surat permohonan resmi pelaksanaan PSG juga menunjukkan rendahnya etika bisnis yang dipraktekkan perusahaan-perusahaan pertambangan ini. Apakah hanya karena dari sebuah institusi pendidikan swasta maka boleh diabaikan? Adanya keengganan menerima dengan berbagai alasan tidak ada tempat dll, tentu tidak masuk akal bagi perusahaan kelas besar. Jika siswa kami tidak bisa mendapat tempat di perusahaan anda, seharusnya perusaahaan anda juga tidak bisa mendapat tempat di wilayah kami.
Jika kita sedikit kritis dan perusahaan mau jujur, maka menerima satu orang siswa saja dapat dipastikan tidak akan mengurangi sedikitpun jumlah keuntungan yang dikeruk dari usaha pertambangan yang dilakukan. Dan jika mereka memang pelit dalam mengeluarkan biaya, ada baiknya bercermin terhadap CSR yang dituntut masyarakat di sekitar wilayah eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Tanggung jawab sosial yang dituntut sangat-sangat besar (bernilai triliunan rupiah) dan sungguh-sungguh membuat pusing tujuh keliling. Nilai tersbut jika dibandingkan dengan sedikit uang lelah dan makan siang serta kerepotan yang ditimbulkan karena menerima siswa PSG, tentu sangatlah tidak seberapa.
Akhirnya, mari semua pihak untuk ikut peduli terhadap investasi peningkatan kualitas SDM di Kalsel. Keuntungan besar dari usaha pertambangan di Kalsel tidak akan berarti dalam jangka panjang jika kita terlambat berinvestasi di bidang peningkatan kualitas SDM. Jika bahan galian mineral habis, mungkin perusahaan masih tetap akan tersenyum karena mereka pulang dengan membawa kapital sangat besar, namun bagi masyarakat lokal yang tentu tetap di sini, adilkah untuk ditinggalkan dalam keadaan miskin dan bodoh?
Didik Triwibowo
Geologist, Ketua PSG
SMK (Sabumi) Pertambangan Banjarbaru
Email : d12k3w@yahoo.com

No comments: