Wednesday, July 29, 2009

BLOK CEPU (ditulis 2006)

Saya, dalam sebuah kesempatan mengajar di SMK Sabumi Pertambangan Banjarbaru pernah mengajukan pertanyaan mengenai Blok Cepu, “ Tahukah kalian tentang blok Cepu?”. Di luar dugaan saya, kelas tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Satu menit berlalu masih juga sama. “Wah gawat !”, pikir saya, anak pertambangan kok ndak pernah sedikitpun mendengar isu pertambangan yang sedang hot. Lha wong di “luaran” sana, mereka yang ga punya background pendidikan geologi atau pertambangan saja dengan gagah berani bicara tentang Blok Cepu, Freeport atau isu pertambangan lain, ini yang calon-calon ahli pertambangan masa depan kok ndenger saja tidak. Namun kemudian saya maklumi, pertama karena ada yang ngaku di kost-nya tidak ada TV apalagi koran. Terus yang punya TV? Ya... yang ditonton sinetron, dangdut, kartun, film laga atau buat main game. Kedua, mungkin siswa-siswa ini tidak mau pusing-pusing ngurusin hal-hal kayak itu. Akhirnya kemudian saya berikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya. Ah, paling tidak mereka sudah mulai tertarik. Selanjutnya dengan semangat saya menjawab pertanyaan mereka satu-per-satu. Kritis juga.

KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI
Menurut UU No. 22 tahun 2001 tanggal 23 November 2001 tentang migas, kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua : kegiatan hulu dan hilir. Kegiatan hulu meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, sedangkan kegiatan hilir meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga migas. Karena pokok pembicaraan kita terkait dengan blok Cepu, maka kita batasi bahasan ini pada lingkup kegiatan hulu yaitu eksplorasi dan eksploitasi migas. Kegiatan hulu migas dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi/ Usaha kecil dan Badan Usaha Swasta berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS). Di sini perlu ditegaskan kembali posisi pertamina sekarang. Dahulu sebelum UU No. 22 Tahun 2001 berlaku, ”Kuasa Pertambangan” migas di sektor hulu dipegang Pertamina, namun sekarang telah dikembalikan ke pemerintah. Adapun kegiatan hilir migas yang dulunya juga dimonopoli oleh Pertamina, sekarang telah dibuka secara bebas. Artinya Badan Usaha lain boleh bersaing. Bahkan saat ini di Jakarta telah ada POM Bensin-POM Bensin non pertamina, seperti punya Petronas Malaysia misalnya. Pada kegiatan hulu migas, pemerintah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang memiliki tugas menandatangani KKS dan mengawasi pelaksanaannya. Hal yang dulunya dipegang Pertamina. Untuk Peraturan Pemerintah terkait dengan hal ini bisa di-cek PP No. 42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 mengenai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan PP No. 35 Tahun 2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Adapun mengenai posisi Pertamina sekarang sesuai PP No. 31 Tahun 2003 tanggal 18 Juni 2003 tentang Pengalihan bentuk Pertamina menjadi Perusahaan Perseroan (Perseroan) adalah sebagai perusahaan (persero) milik negara yang sama-sama sebagai pelaku bisnis di sektor hulu maupun hilir bersaing dengan badan usaha lain. Singkatnya, Pertamina hanya sebagai pemain yang harus bersaing dengan badan usaha lain dan ia tidak lagi merangkap sebagai regulator. Fungsi regulator dikembalikan ke pemerintah. Saya kira cukup kenyang-lah Pertamina itu, selama kurun waktu 1970 sampai dengan 2001 merangkap sebagai pemain dan pengatur. Cuman, kekhawatiran saya satu, waktu merangkap saja kondisinya babak belur apalagi sekarang hanya sebagai pemain. You can imagine that...
Sebelum suatu badan usaha melakukan kegiatan di sektor hulu migas, pemerintah membuka peluang kerja sama atau KKS dengan persyaratan : (1) Kepemilikan SDA tetap ditangan Pemerintah sampai titik penyerahan, (2) Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana yang meliputi pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan serta pengawasan atas realisasi dari rencana tersebut; (3) Modal dan resiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap, dalam arti Pemerintah melalui Badan Pelaksana tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan investasi dan menanggung resiko finansial dalam pelaksanaan KKS. Persyaratan di atas masih ditambahkan lagi 14 prinsip KKS, yaitu : (a) Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) bertanggung jawab atas Manajemen Operasi; (b) Kontraktor melaksanakan operasi menurut Program Kerja Tahunan yang sudah disetujui BPMigas; (c) Kontraktor menyediakan seluruh dana dan teknologi yang dibutuhkan dalam operasi perminyakan; (d) Kontraktor menanggung biaya dan resiko operasi; (e) Kontraktor diizinkan mengadakan eksplorasi selama 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) tahun dan eksploitasi 20 (dua puluh) tahun atau lebih (jangka waktu kontrak 30 tahun); (f) Kontraktor akan menerima kembali seluruh biaya operasi setelah produksi komersial; (g) Produksi yang telah dikurangi biaya produksi, dibagi Pemerintah dan Kontraktor; (h) Kontraktor wajib menyisihkan/mengembalikan sebagian wilayah kerjanya kepada pemerintah; (i) Seluruh barang operasi/peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik pemerintah dan untuk yang diimpor setelah tiba di Indonesia; (j) Seluruh data yang didapatkan dalam operasi menjadi milik pemerintah; (k) Kontraktor adalah subjek PPh dan wajib menyetorkannya secara langsung kepada Negara; (l) Kontraktor wajib memenuhi sebagian kebutuhan minyak dan gas bumi dalam negeri (Domestic Market Obligation) maksimum 25% dari bagian KKS; (m) Kontraktor wajib mengalihkan 10% interest-nya setelah produksi komersial kepada Perusahaan Swasta Nasional yang telah ditunjuk oleh Pemerintah; (n) Kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
Bila kita cermati dan kaji, sesungguhnya poin-poin persyaratan dan prinsip-prinsip kerjasama sangat menguntungkan bagi negara. Artinya, jika semua persyaratan dan prinsip-prinsip KKS tersebut dilaksanakan dengan baik dan konsisten, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran berlebihan misalnya negara dirugikan, kekayaan alam dikuras habis dll. Ada pertanyaan kritis, mengapa harus 30 tahun? Kenapa lama sekali? Bagaimana jika kontraktor merusak lingkungan?

KARAKTER INDUSTRI HULU MIGAS
Untuk dapat mengangkat migas dari dalam perut bumi ke permukaan bumi diperlukan proses yang panjang dengan resiko investasi yang tinggi. Investor harus berpikir ulang sebelum terjun di bisnis ini, paling tidak ia harus mengetahui terlebih dahulu karakter industri hulu migas yang antara lain : (1) Harus ada sumberdaya alam migas yang cukup besar; (2) Sumberdaya migas tidak dapat diperbaharui; (3) Biaya investasi dan operasi sangat tinggi; (4) Memerlukan teknologi tinggi (High Tech); (5) Resiko kegagalan tinggi; (6) Siklus kegiatan lama (puluhan tahun). Saya akan menyajikan tahapan kegiatan hulu migas dilihat dari sisi teknis dan bisnis. Tahapan pertama adalah tahap persiapan (Preparation Stage), dimulai dengan melakukan Pre-Study dan kemudian penandatanganan kontrak.. Tahap kedua adalah tahap eksplorasi (exploration stage) yang terdiri dari kegiatan survei geologi dan geofisika, evaluasi dan wildcat drilling atau pemboran untung-untungan atau pemboran taruhan. Setelah Ok, dilanjutkan tahap ketiga : tahap pengembangan (development stage) beupa development drilling (pemboran pengembangan), studi reservoir dan pembangunan fasilitas produksi. Selanjutnya adalah tahap terakhir yaitu tahap produksi (production stage) yang berupa operasi produksi, transportasi dan maintenance. Tahap kedua dan ketiga inilah yang disebut tahap eksploitasi. Menjawab pertanyaan kenapa harus 30 tahun? Ya karena memang tahapannya panjang. Sebagai ilustrasi, survei geofisika dan interpretasinya memerlukan waktu 2-3 tahun, pemboran eksplorasi 2-4 tahun, pemboran deliniasi 1-3 tahun dan pengembangan lapangan 2-5 tahun. Artinya paling tidak perlu waktu 8 tahun untuk eksplorasi saja, padahal eksplorasi merupakan tahap yang memerlukan investasi yang tinggi. Ya kalo reservoirnya positif terdapat migas, kalo tidak?
Dari sisi ini, jika kita sedikit berpikir lebih jernih, dengan resiko yang sedemikian besar tidak mungkin pemerintah menginvestasikan sendiri uangnya untuk kegiatan hulu migas, bahkan dalam KKS-pun dipersyaratkan pula bahwa pemerintah (BP Migas) tidak boleh mengeluarkan sepeserpun uang dalam pelaksanaan KKS. Jadi alternatif mengajak kerjasama dengan persyaratan dan prinsip-prinsip kerjasama seperti di atas merupakan hal ideal yang dapat dilakukan. Kita, masyarakat, dengan mekanisme yang ada tentu dapat melakukan pengawasan dan segera dapat melaporkan jika ada indikasi penyimpangan. Namun, perlu ditekankan agar tidak melihat pengelolaan sektor hulu migas – dalam hal ini Blok Cepu – dari sudut pandang yang hanya berdasar persepsi dan asumsi. Saat ini faktanya, telah ada Join Operating Agreement (JOA) yang akan mengelola Blok Cepu. Mari kita lihat komposisinya, bagian pemerintah pusat 85%, Exxon 6,75%, Pertamina 6,75% dan BUMD 1,5%. Komposisi ini secara tersirat menunjukkan jika Pemerintah Pusat, Pertamina dan BUMD dianggap sebagai pihak Indonsesia, maka total jendral Indonesia memperoleh bagian 93,25% sedangkan pihak asing (Exxon) Cuma 6,75%. Jika dikejar lagi dengan pertanyaan, kenapa ga pertamina saja ditunjuk sebagai kontraktor? Runyam deh, wong yang menemukan si Exxon masa’ ga dikasih bagian?. Bagaimana jika ternyata dalam pelaksanaan kerjasama ternyata merugi? Tidak perlu khawatir, pemerintah tidak akan rugi sedikitpun, karena memang semua resiko ditanggung kontraktor, dalam hal ini Exxon dan Pertamina. Namun jika untung, maka akan dibagi sesuai komposisi di atas, setelah dipotong dengan biaya operasional yang telah dikeluarkan kontraktor. Ini disebut Cost Recovery.
Untuk lingkungan? 30 tahun eksploitasi pasti lingkungan akan rusak! Ah, jangan berlebihan mas, pemboran darat untuk migas hanya perlu 2-3 hektar saja kok. Jangan bandingkan dengan Freeport atau tambang batubara. Akhirnya, jika masih ada yang berkeras menolak pengelolaan Blok Cepu. Mari kita dengarkan suara rakyat Bojonegoro, apakah mereka setuju atau tidak, mendukung atau tidak. Dan tentu jangan mengatakan mereka bodoh, yang jelas mereka berhak atas kekayaan alam mereka sendiri untuk kesejahteraan mereka. Mereka banyak yang terbelit kemiskinan, dan harapan akan segera berproduksinya minyak dari dalam bumi mereka sangat besar. Ah, saya perlu teman ekonom untuk menjelaskan multiplier effect – nya jika eksplorasi-eksploitasi berjalan. Mungkin kapan-kapan kita bisa berkunjung ke sana? Saya kasih sedikit bocoran, tanah kapur yang tipis, jalan aspal bergelombang, panas-gersang....


Didik Triwibowo
Geologist, Staf Distamben Prov. Kalsel
Email : d12k3w@yahoo.com

No comments: